EBTKE: Mimpi Energi Bersih Indonesia yang Sudah Dimulai Sejak 1979

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com-Ketika dunia baru menyadari pentingnya energi ramah lingkungan, Indonesia sudah lebih dulu bersiap. Pada akhir 1979, istilah Energi Baru dan Terbarukan serta Konservasi Energi (EBTKE) mulai resmi digunakan dalam kebijakan negara. Istilah itu mungkin baru populer sekarang, namun sebenarnya sudah menjadi bagian dari sejarah energi nasional selama lebih dari 45 tahun.

Tepatnya lewat Keputusan Presiden tahun 1979, pemerintah membentuk Direktorat Jenderal Ketenagaan. Tugasnya bukan hanya soal kelistrikan, tetapi juga pengembangan energi baru, energi terbarukan, dan konservasi energi—bidang yang kini menjadi tulang punggung transisi energi bersih Indonesia.

Saya sendiri mulai menangani EBTKE sejak akhir 1979, dari posisi Kepala Subdirektorat hingga ke Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi. Perjalanan itu bukan tanpa tantangan, tapi penuh keyakinan bahwa energi masa depan harus adil, bersih, dan terjangkau.

Istilah dari Dunia, Aksi di Negeri Sendiri

EBTKE bukan istilah sembarangan. Ia lahir dari perdebatan dan pemikiran global di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak 1978, PBB mengedepankan istilah New and Renewable Sources of Energy sebagai bagian dari agenda internasional.

Puncaknya pada Konferensi PBB di Nairobi, Kenya (1981), istilah itu disahkan dan Indonesia menjadi bagian aktif dalam forum tersebut. Saya menyaksikan langsung bagaimana Prof. Samaun Samadikun dan Dr. A.J. Surjadi—dua tokoh energi bangsa—mengusung gagasan energi bersih Indonesia di panggung global.

Dari Edukasi ke Aksi: Energi untuk Rakyat

Pada 1980-an, kami memulai dari hal sederhana: penyuluhan dan percontohan. Energi surya untuk memasak dan pengeringan hasil pertanian. Panel surya (PLTS) untuk penerangan desa di pelosok seperti Sangir-Talaud, Pulo Rote, dan Timor Timur. PLT Mikrohidro yang dikelola masyarakat. Teknologi baru seperti energi arus laut, pasang surut, OTEC, dan fuel cell mulai diperkenalkan lewat seminar dan ceramah.

Kami sadar, kunci transisi energi adalah pemahaman masyarakat. Karena itu, pada 1995, kami mendirikan Museum Listrik dan Energi Baru di Taman Mini Indonesia Indah (TMII)—diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto. Sebuah upaya edukasi publik yang belum banyak dilakukan negara lain saat itu.

Konservasi Energi: Saudara Kandung EBT

Tak hanya soal menciptakan sumber baru, kami juga mendorong penghematan energi. Ada lomba tungku hemat energi, kerja sama dengan Jepang untuk membangun pre-heater pada industri baja, hingga penyusunan Specific Energy Consumption bersama asosiasi industri semen. Tahun 1981 terbit Inpres Konservasi Energi, dan tahun 1994 disusul Keppres Konservasi Energi. Semua dirancang untuk menurunkan elastisitas energi—agar pertumbuhan ekonomi tak bergantung pada borosnya energi.

Evolusi Kelembagaan: Dari Direktorat ke Ditjen

Awalnya, EBTKE hanya ditangani di level direktorat. Namun sejak 2010, tugas ini naik kelas menjadi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE). Ini bukti bahwa negara mulai memberi porsi penting pada energi bersih dalam kebijakan nasional.

Refleksi: Menuju Energi Non-Karbon?

Selama lebih dari empat dekade, Indonesia menggunakan istilah EBTKE yang berakar dari istilah PBB. Namun kini, dengan tuntutan dunia untuk mencapai zero carbon, mungkin sudah saatnya kita berpikir ulang. Saya mengusulkan istilah baru seperti “Sumber Energi Non-Karbon”—yang lebih relevan dengan masa depan energi berbasis teknologi, tanpa pembakaran fosil.

Penutup: Warisan yang Terus Berkembang

EBTKE bukan sekadar kebijakan. Ia adalah warisan visi dan aksi. Indonesia pernah menjadi pelopor, kini waktunya untuk kembali memimpin. Energi bersih bukan lagi impian, tapi kebutuhan. Dan sejarah menunjukkan: kita sudah memulainya sejak lama.

Endro Utomo N.
Pelaku sejarah pengembangan EBTKE di Indonesia. Mengawal isu energi baru, terbarukan, dan konservasi energi sejak 1979.