Transisi Energi Butuh Dua Kaki: Elektrifikasi dan Bioenergi Harus Berjalan Seimbang

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Minahasa Selatan, Sulut, ruangenergi.com-Transisi energi di Indonesia tidak bisa hanya ditopang oleh satu pilar. Jika kita ingin mencapai target emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060, maka strategi nasional harus ditopang oleh dua kaki utama: elektrifikasi berbasis energi terbarukan dan penguatan energi alternatif non-listrik seperti bioenergi, hidrogen, amonia, hingga carbon capture.

Sejauh ini, sektor elektrifikasi melalui PLN dan proyek-proyek berbasis EBT (Energi Baru Terbarukan) memang telah berjalan cukup progresif. Program 5 GW energi hijau dari PLN tiap tahun—dengan nilai investasi mencapai 6–7 miliar dolar AS—adalah langkah besar. Namun, kaki kedua, yakni sektor bioenergi, biofuel, bioetanol, green ammonia, hingga sustainable aviation fuel (SAF), masih belum mendapatkan ruang regulasi dan dukungan yang memadai.

Padahal, sektor non-listrik ini adalah kekuatan besar Indonesia. Pertamina, misalnya, memiliki kompetensi dan infrastruktur kuat dalam ekosistem biofuel dan energi molekular lainnya. Bioetanol, biodiesel, hingga green hydrogen bukan lagi sekadar opsi, tapi merupakan fondasi percepatan transisi energi di sektor transportasi, industri, dan maritim.

Direktur Proyek dan Operasi PT Pertamina NRE, Norman Ginting, menekankan pentingnya keseimbangan strategi nasional.

“Transisi energi harus dijalankan dengan pendekatan dua kaki. Elektrifikasi memang penting, tapi pengembangan bioenergi dan teknologi molekular tak kalah krusial untuk dekarbonisasi sektor-sektor yang tidak bisa dialiri listrik langsung,” ujar Norman kepada ruangenergi.com di sela-sela kunjungan ke PLTP Lahendong , Kamis(31/07/2025), di Sulawesi Utara.

Sayangnya, proses regulasi dan perencanaan energi nasional saat ini masih cenderung berat sebelah. Banyak potensi bioenergi belum tergarap secara optimal. Negara-negara produsen minyak seperti Brasil dan Arab Saudi bahkan telah bergerak lebih cepat melalui penguatan bioekonomi dan pengembangan SAF (Sustainable Aviation Fuel).

Dua Lokomotif, Satu Tujuan

Norman bercerita, transisi energi tidak akan stabil jika hanya ditarik oleh satu lokomotif. PLN dan Pertamina harus menjadi dua mesin penggerak utama. Keduanya mewakili dua sisi strategi besar: elektrifikasi dan dekarbonisasi molekular. Pemerintah perlu menjamin bahwa kolaborasi antara keduanya berlangsung harmonis dan berimbang.

Namun dua kaki ini saja tidak cukup. Diperlukan peran aktif dari sektor swasta sebagai inovator, akselerator, sekaligus penyandang modal. Sayangnya, belum ada ekosistem kolaboratif yang benar-benar inklusif. Sektor swasta masih minim keterlibatannya dalam desain besar transisi energi nasional.

Regulasi Harus Dipercepat

Salah satu kunci utama adalah percepatan regulasi. Menurut Norman, dukungan terhadap bioenergi, green fuel, dan teknologi non-listrik seperti carbon capture dan green ammonia harus dituangkan ke dalam kebijakan yang jelas, insentif yang menarik, serta roadmap yang terukur dan realistis.

Regulasi yang kuat juga akan menjadi sinyal positif bagi para investor. Tanpa kepastian hukum dan kebijakan, baik investor lokal maupun global akan ragu untuk masuk. Transisi energi tidak boleh menjadi domain eksklusif BUMN saja—ini adalah proyek nasional yang harus melibatkan semua pihak.

Kesimpulan: Transisi Energi Butuh Akselerator, Kolaborator, dan Keseimbangan

Indonesia tidak bisa bertumpu pada satu kaki saja. Transisi energi akan goyah jika hanya berfokus pada elektrifikasi, tanpa memperkuat pilar bioenergi dan inovasi molekular lainnya. PLN dan Pertamina harus bergerak bersama sebagai dua lokomotif utama. Pemerintah harus menjadi akselerator, fasilitator, dan penyambung antar pelaku.

Dan yang paling penting: swasta harus dilibatkan secara penuh. Hanya dengan kolaborasi menyeluruh dan dukungan regulasi yang kuat, transisi energi Indonesia dapat berjalan stabil, cepat, dan inklusif menuju masa depan yang lebih hijau.