Pareto Negatif di Industri Timah, Suhendra Yusuf: Saatnya Aturan Diperketat!

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Pangkal Pinang, Bangka Belitung, ruangenergi.com– Direktur Pengembangan Usaha PT Timah Tbk, Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara, menilai maraknya penambangan timah ilegal di Indonesia bukan sekadar soal pengawasan lemah, tetapi sudah berkembang menjadi mindset bahkan “culture” di masyarakat.

“Ini persoalan warisan. Sejak pasca reformasi, ketika kran penambangan dibuka pemerintah, penambangan yang sebelumnya eksklusif untuk PT Timah mulai dimasuki pihak swasta dan masyarakat. Dari situlah budaya menambang liar tumbuh,” ujar Suhendra dalam bincang santai dengan media dan dihadiri ruangenergi.com, langsung di Pangkal Pinang, Babel, Sabtu (23/08/2025).

Menurutnya, perubahan budaya ini tidak mudah. Meski PT Timah Tbk masih menguasai sekitar 80 persen wilayah konsesi atau hampir 500 ribu hektare, kenyataannya produksi justru terbalik: sebagian besar datang dari luar PT Timah.

“Kalau pakai istilah pareto, ini justru pareto negatif. Kami kuasai luas, tapi produksinya kecil. Swasta dan masyarakat justru mendominasi,” tegasnya.

Butuh Dukungan Regulasi dan Stakeholder

Suhendra menekankan pentingnya dukungan regulator serta pemangku kepentingan di pusat maupun daerah. Tanpa regulasi yang berpihak, kata dia, sulit bagi PT Timah menjalankan peran sebagai lead dalam industri timah nasional.

“Grand design kita jelas: PT Timah harus jadi pemain utama dengan tata kelola tambang yang baik dan terukur. Tapi persoalan ini pelik, jadi kami lakukan penataan parsial sambil jalan,” paparnya.

Perketat Kontrak dengan Mitra

Salah satu langkah konkret yang ditempuh adalah memperketat kontrak dengan mitra penambang. Selama ini, kata Suhendra, kewajiban mitra terkait target produksi masih longgar.

“Selama ini bisa saja mitra bilang seminggu hanya setor 1 ton. Padahal kita tahu cadangan di lokasi itu jauh lebih besar. Jadi ke depan, kami tetapkan kewajiban volume harian atau bulanan dalam kontrak,” jelasnya.

Selain kewajiban, PT Timah juga menyiapkan skema insentif berbasis kinerja. Mitra yang mampu mencapai atau melampaui target akan mendapat tambahan harga melalui formula gradasi. “Ini cara kami mendorong kompetisi sehat dan memastikan ada keadilan dalam kerjasama,” katanya.

Fleksibilitas Swasta Jadi Tantangan

Meski begitu, Suhendra mengakui PT Timah masih kalah fleksibel dibanding swasta dalam hal harga beli bijih timah. “Kalau swasta bisa langsung pasang harga, PT Timah terikat aturan internal korporasi. Jadi memang ada keterbatasan,” ungkapnya.

Di akhir, Suhendra menegaskan kembali bahwa perubahan budaya penambangan timah liar membutuhkan waktu dan dukungan penuh semua pihak. “Merubah mindset dan culture itu pekerjaan panjang. Tapi kalau regulasi jelas, pengawasan kuat, dan mitra disiplin, kita bisa kembalikan marwah PT Timah sebagai pemimpin industri timah nasional,” pungkasnya.