Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com—Proyek pengembangan gas raksasa di perairan Aceh yang digarap oleh Mubadala Energy bersama SKK Migas menunjukkan sinyal positif dari sisi dukungan pemerintah, namun menyimpan tantangan besar di balik layar: keekonomian yang “tipis-tipis.”
Kepala Perwakilan SKK Migas Sumatera Bagian Utara, CW Wicaksono, mengungkapkan kepada ruangenergi.com bahwa pertemuan makan malam (dinner) antara Gubernur Aceh, SKK Migas, dan Mubadala Energy pada Sabtu (04/10/2025), sangatlah positif.
“Pak Gubernur Aceh sangat mendukung sekali terealisasinya proyek ini,” ujar Wicaksono. Bahkan, komitmen Kepala Daerah itu tak main-main, meminta agar segala kendala—baik teknis maupun non-teknis—segera dilaporkan langsung kepadanya. Sebuah dukungan politik yang luar biasa untuk menjamin kelancaran megaproyek ini.
Dari sisi progres, Mubadala dan SKK Migas melaporkan bahwa proyek ini tengah menunggu persetujuan Plan of Development (POD) dan masih dalam tahapan komersial. Target ambisius pun ditetapkan: Final Investment Decision (FID) diharapkan bisa disetujui oleh korporasi Mubadala pada pertengahan 2026, dengan harapan gas dapat onstream (mulai mengalir) pada 2028.
Target ini menunjukkan bahwa waktu terus berjalan, dan semua pihak berpacu untuk menjadikan Aceh sebagai pusat energi gas nasional.
Namun, di tengah optimisme tersebut, Wicaksono secara blak-blakan menyoroti persoalan krusial yang paling memberatkan bagi investor: keekonomian proyek yang “tipis-tipis.”
Istilah tipis-tipis dalam dunia migas seringkali merujuk pada marjin keuntungan yang sangat kecil. Dalam konteks proyek gas raksasa seperti ini, ada dua faktor utama yang biasanya menjadi biang keladi: harga gas yang tidak cukup tinggi dan pasar gas yang belum terjamin atau jelas serapannya.
“Serius, yang jadi masalah proyek ini keekonomiannya tipis-tipis. Ini yang berat bagi Mubadala,” tegas Wicaksono.
Dalam catatan ruangenergi.com, proyek migas bernilai triliunan Rupiah membutuhkan jaminan pembeli jangka panjang (market) dengan harga yang mampu menutupi biaya investasi dan memberikan keuntungan yang memadai (Internal Rate of Return/IRR) bagi investor. Jika pasar gas domestik atau ekspor masih belum pasti, atau jika harga gas yang ditawarkan rendah, maka risiko bagi Mubadala sebagai investor akan melonjak.
Mubadala Energy kini menghadapi tantangan berat untuk mencari solusi komersial yang menjamin proyek ini tetap menguntungkan, meskipun cadangan gas diyakini melimpah. Dukungan penuh dari Gubernur Aceh kini menjadi sandaran penting untuk memuluskan jalan di tengah tantangan finansial ini.
Akankah dukungan politik dari Aceh mampu mengimbangi tantangan keekonomian yang mengancam keuntungan proyek gas raksasa ini? Perkembangan persetujuan POD dan negosiasi pasar gas akan terus menjadi sorotan utama.