Hulu Migas Indonesia: Dari Masa Keemasan ke Optimisme Baru, Catat Itu!

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com–Deru mesin rig dan aroma minyak mentah pernah menjadi lambang kejayaan Indonesia di panggung energi dunia. Pada dekade 1970–1990-an, negeri ini berdiri tegak sebagai salah satu raksasa migas Asia.

Produksi minyak mencapai 1,6 juta barel per hari (bph), dan lapangan-lapangan raksasa seperti Minas, Duri, Mahakam menorehkan kisah emas di setiap era.

Kala itu, perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Chevron, Total, dan ExxonMobil memegang peran penting. Indonesia bahkan menjadi anggota kebanggaan OPEC sejak 1962, sebelum akhirnya keluar pada 2008 karena produksi yang terus menurun.

Namun, waktu membawa tantangan baru. Seiring usia lapangan yang menua dan minimnya temuan cadangan baru, produksi minyak Indonesia perlahan menurun. Kini, negeri ini bukan lagi eksportir, melainkan pengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan energinya sendiri.

Produksi Menurun, Eksplorasi Jadi Kunci

Sewaktu Carole J. Gall menjabat sebagai Presiden Indonesia Petroleum Association, dia sempat menyoroti fenomena ini dalam konferensi pers menjelang IPA Convention and Exhibition (IPA Convex 2025) yang  digelar pada 20–22 Mei 2025 di ICE BSD City, Tangerang.

Menurut Gall, yang juga saat itu menjabat sebagai Presiden ExxonMobil Indonesia, mengatakan lagi bahwa tren penurunan produksi migas adalah hal yang wajar karena banyak lapangan sudah memasuki tahap matang. “Saat ini, produksi minyak bumi Indonesia stabil di kisaran 550.000–600.000 barel per hari,” ujarnya.

Namun, di balik tantangan tersebut, Gall melihat peluang besar yang belum tergarap. “Potensi migas Indonesia masih sangat besar. Hanya sekitar 16 persen dari total cekungan yang telah berproduksi,” ungkapnya.

Sebagian besar wilayah, tambah Gall, masih tergolong belum dieksplorasi. Oleh karena itu, eksplorasi harus menjadi prioritas utama bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor hulu migas.

Untuk membalikkan tren penurunan, para pelaku industri didorong untuk meningkatkan survei seismik, pengeboran sumur baru, serta memanfaatkan teknologi dan inovasi terkini. “Kolaborasi erat antara industri dan pemerintah menjadi kunci untuk menciptakan iklim investasi yang sehat, melalui kepastian regulasi, kepastian fiskal, serta penyederhanaan birokrasi dan percepatan perizinan,” tegas Gall.

Menurut Dirjen Migas Laode Sulaeman, pemerintah Indonesia merespons tantangan tersebut dengan berbagai pembenahan dalam pengelolaan usaha migas. Langkah-langkah strategis dilakukan untuk menciptakan daya tarik baru bagi investor, di antaranya melalui peningkatan porsi bagi hasil untuk kontraktor. Penetapan 10 persen first tranche petroleum (FTP). Penetapan nilai minimum signature bonus berdasarkan tingkat risiko blok. Kemudian, fleksibilitas dalam memilih skema kontrak, baik cost recovery maupun gross split

Selain itu, pemerintah juga memberikan 100 persen harga Domestic Market Obligation (DMO), menghapus kewajiban relinquishment dalam tiga tahun pertama, serta membuka akses data eksplorasi melalui Migas Data Repository (MDR).

“Pembenahan ini diharapkan dapat memberikan rasa percaya diri bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia,” kata Laode dalam kegiatan Society of Petroleum Engineer/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (SPE/IATMI) Asia Pacific Oil & Gas Conference and Exhibition (APOGCE) 2025.  Acara bertema “Empowering The Future: Strengthening Energi Security and Accelerating Sustainability” itu digelar pada Selasa (14/10/2025).

Laode menambahkan, kontraktor juga memperoleh fasilitas perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk peluang mengajukan insentif ekonomi bila proyek menghadapi kendala keekonomian. “Kami ingin industri merasa nyaman dan yakin untuk menanamkan modalnya di sini,” katanya.

Mimpi Besar 2030: Satu Juta Barel Sehari

Meski menghadapi tekanan global dan transisi energi hijau, Indonesia tetap menatap masa depan dengan optimisme. Pemerintah menargetkan produksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 BSCFD gas pada tahun 2030.

Proyek-proyek besar seperti Indonesia Deepwater Development (IDD), Blok Masela, Tangguh Train 3, dan Natuna D-Alpha menjadi tumpuan utama untuk mencapai target itu.

Sementara itu, teknologi seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Carbon Capture and Storage (CCS) diharapkan mampu memperpanjang umur lapangan tua dan menekan emisi karbon.

Industri migas Indonesia sedang berada di persimpangan antara kenyataan lapangan tua dan semangat pembaruan. Tantangan memang besar — mulai dari fluktuasi harga minyak, iklim investasi global, hingga kompetisi energi baru terbarukan.

Namun, di balik semua itu, tersimpan optimisme bahwa Indonesia masih punya potensi besar untuk kembali bersinar. Dengan reformasi fiskal yang lebih fleksibel, kepastian hukum, serta sinergi antara pemerintah dan pelaku industri, sektor hulu migas diharapkan bisa kembali menjadi pilar kuat energi nasional.

“Dengan pembenahan menyeluruh dan kolaborasi yang kuat, Indonesia bisa kembali menjadi pemain penting di dunia migas,” kata Laode menutup. “Ini bukan sekadar upaya mempertahankan produksi, tapi bagian dari perjalanan panjang menuju kedaulatan energi yang berkelanjutan.”

Tren Investasi Melonjak: Sinyal Positif dari SKK Migas

Optimisme terhadap sektor hulu migas juga tergambar dari data terbaru Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Sepanjang Januari–Juni 2025, realisasi investasi hulu migas mencapai USD 7,19 miliar atau sekitar Rp118 triliun. Angka ini naik 28,6 persen dibanding periode yang sama tahun 2024 yang sebesar USD 5,59 miliar.

“Upaya memperbaiki iklim investasi hulu migas yang dilakukan oleh pemerintah telah memberikan kepercayaan kepada investor mengenai masa depan industri hulu migas yang semakin menarik,” kata Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto, dalam konferensi pers, Senin (21/07/2025).

SKK Migas memperkirakan, urai Djoko,  hingga akhir 2025, realisasi investasi akan mencapai USD 16,5–16,9 miliar — tertinggi dalam satu dekade terakhir, melampaui capaian tahun 2024 sebesar USD 14,4 miliar.

Dalam sembilan tahun terakhir, investasi tertinggi sempat terjadi pada 2015 (USD 15,3 miliar) sebelum menurun tajam saat pandemi 2020 (USD 10,5 miliar). Namun sejak 2021, trennya kembali menanjak.

Tak hanya nominal investasi, daya saing investasi Indonesia juga meningkat. Menurut S&P Global, skor investor attractiveness untuk sektor hulu migas Indonesia pada 2025 mencapai 5,35, naik konsisten dari skor di bawah 4,75 pada 2021.

“Peningkatan ini dikontribusikan oleh temuan besar pada 2023 dan 2024 serta perbaikan sistem fiskal oleh pemerintah,” jelas Djoko.

“Sekarang tidak ada lagi istilah lapangan tidak ekonomis. Pemerintah sudah memberikan dukungan, mulai dari PSC New Gross Split, penghapusan PPN LNG, hingga pembangunan infrastruktur gas,” tambahnya.

Meningkatnya investasi juga mendorong aktivitas di lapangan. Hingga Juni 2025, pengeboran sumur pengembangan mencapai 409 sumur, naik 14 persen dari tahun sebelumnya. Kegiatan workover mencapai 517 sumur (naik 6 persen), sedangkan well service meningkat 12 persen menjadi 20.644 kegiatan.

Tren positif juga terlihat di sektor eksplorasi. Pada 2020, investasi eksplorasi hanya USD 0,5 miliar, naik menjadi USD 1,3 miliar di 2024, dan diproyeksikan mencapai USD 1,5 miliar pada 2025 — tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Untuk memancing masuknya big players global, SKK Migas mendorong investor engagement secara masif. Sejak 2023 hingga 2025, sudah ada 40 kegiatan joint study dengan 16 blok baru, sebagian besar di wilayah Indonesia Timur.

Kerja sama ini melibatkan nama-nama besar seperti ENI, Petronas, Inpex, Sinopec, CNOOC, BP, TotalEnergies, PetroChina, Kufpec, dan Woodside Energy.

Dengan geliat investasi yang meningkat, optimisme pun menguat untuk mencapai target nasional: produksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 BSCFD gas pada 2030.

Proyek strategis seperti Indonesia Deepwater Development (IDD), Blok Masela, dan Tangguh Train 3 menjadi tumpuan. Sementara penerapan EOR dan CCS menjadi bukti bahwa Indonesia siap menyeimbangkan produksi energi dengan keberlanjutan lingkungan.

Hulu migas Indonesia kini berada di titik persimpangan antara realitas lapangan tua dan semangat pembaruan. Namun dengan kebijakan fiskal yang lebih fleksibel, peningkatan kepastian hukum, serta sinergi antara pemerintah, industri, dan investor global, jalan menuju kebangkitan semakin terbuka lebar.

Dari balik rig dan sumur pengeboran, optimisme baru tengah tumbuh — menandai babak baru energi Indonesia yang lebih berdaulat, berdaya saing, dan berkelanjutan.