Bojonegoro, Jawa Tengah, ruangenergi.com-Di sebuah pagi yang cerah di Dusun Tanggungan, Desa Brabowan, Kecamatan Gayam, Bojonegoro, Lasmidi sibuk mengaduk cairan coklat pekat dalam tong biru yang terletak di belakang rumahnya. Aroma fermentasi dedaunan dan limbah organik tercium samar. Cairan itulah yang kini menjadi “senjata utama” bagi Lasmidi: pupuk organik buatan tangannya sendiri.
“Dulu saya panik kalau pupuk kimia langka,” kenangnya sambil tersenyum. “Sekarang, kalau butuh pupuk, saya tinggal buat sendiri.”
Perubahan itu terjadi setelah Lasmidi mengikuti Sekolah Lapangan Pertanian (SLP), bagian dari Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) yang dilaksanakan di Kecamatan Gayam dan Kalitidu, Bojonegoro. Program ini menggandeng Yayasan Daun Bendera (FIELD Indonesia) untuk mengajarkan praktik pertanian ekologis yang ramah lingkungan, efisien, dan berkelanjutan.
Lebih dari 600 petani dari delapan desa kini terlibat dalam SLP. Mereka belajar langsung di sawah—mengamati ekosistem, membuat pupuk organik, mengendalikan hama tanpa pestisida, hingga menghitung biaya produksi. Cara belajar tanpa ruang kelas ini membuat petani cepat memahami dan menerapkan teknologi.
“Sejauh ini saya telah berhemat banyak dari biaya obat hama. Begitu pula dengan pupuk,” kata Lasmidi dalam kunjungan media SKK Migas—KKKS ke lokasi pertanian di Bojonegoro, Selasa (4/11/2025). Biaya produksi cabai yang sebelumnya membengkak karena pupuk dan pestisida kini jauh mengecil. Keuntungannya meningkat.
Baginya, metode pertanian ekologis bukan hanya soal teknik. Lebih dari itu, ini adalah jalan kembali ke pengetahuan yang sebenarnya dia kenal sejak kecil.
“Leluhur kami sudah mengolah lahan dengan cara ini,” ujarnya. “Kami terlena dengan pupuk pabrikan. Setelah ikut sekolah lapangan, kami sadar, alam sudah menyediakan semuanya.”
Bukan Sekadar Pelatihan, Tapi Ekosistem Baru
SLP tidak berdiri sendirian. Para petani membentuk kelompok belajar yang rutin bertemu untuk berdiskusi dan memecahkan masalah di lahan masing-masing. Mereka saling berbagi pengalaman, mempraktikkan percobaan, hingga mencatat hasil panen.
“Menerapkan pola pertanian ekologis ramah lingkungan ini jadi semakin mudah saat kami berkelompok. Saling mendukung dan saling bantu satu sama lain,” lanjut Lasmidi.
Perubahan ini terlihat nyata, yakni ketergantungan petani terhadap pupuk kimia menurun, biaya produksi turun signifikan,dan kualitas lahan membaik dan ekosistem sawah kembali hidup.
Perwakilan EMCL, Feni Kurnia Indiharti, menegaskan bahwa program ini dirancang berdasarkan kebutuhan petani di sekitar wilayah operasi Lapangan Minyak Banyu Urip dan Kedung Keris.
“Kami ikut berperan serta dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Perubahan hari ini sudah mengarah ke sana,” ujarnya.
Di tengah sorotan terhadap industri migas, program ini menjadi bukti bahwa operasi hulu migas tidak hanya menghasilkan energi, tapi juga membuka ruang pemberdayaan masyarakat.
SKK Migas: Ketahanan Energi Dimulai dari Masyarakat
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Heru Setyadi, memberikan apresiasi.
“Program pemberdayaan masyarakat seperti SLP ini membuktikan bahwa keberadaan industri hulu migas memberikan manfaat langsung bagi masyarakat,” ujarnya.
Heru menambahkan, ketika petani mandiri dan sejahtera, ekonomi desa ikut menguat. Itu mendukung visi nasional dalam Asta Cita, yaitu kemandirian ekonomi rakyat dan ketahanan energi yang berkelanjutan.
“Ketahanan energi bertumpu tidak hanya pada produksi migas, tetapi juga pada kekuatan sosial di sekitar wilayah operasi,” tegasnya.
Di balik cerobong dan sumur minyak, ada perubahan senyap di lahan persawahan Bojonegoro: petani menjadi lebih mandiri, pendapatan meningkat, dan bumi lebih terjaga.
Sementara Lasmidi kembali mengaduk pupuk organiknya, ia menatap hamparan cabai di depan rumahnya.
“Sekarang saya lebih tenang,” katanya pelan. “Pupuk ada. Hasil panen ada. Dan kami tidak lagi bergantung.”
Di Gayam dan Kalitidu, kemandirian kini tumbuh—pelan tapi pasti—bersama tanaman yang makin hijau.












