Ruang Energi, Jakarta – Draf RUU Energi Baru dan Terbarukan yang terbaru tertanggal 25 Januari 2021 sudah beredar. Poin khusus yang harus dicermati adalah dalam Pasal 7 Ayat (3) yang mengatur bahwa “Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning PLTN dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara Khusus”.
Dalam aturan ini terlihat adanya monopoli yang mana pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning PLTN hanya dilaksanakan oleh BUMN Khusus. Seharusnya, kehadiran Pemerintah adalah sebagai regulator bukan sebagai operator melalui BUMN Khusus tersebut.
Tak hanya itu, ketentuan tersebut juga melanggar ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran sebagai UU Induk di bidang Nuklir khususnya pada Pasal 13 Ayat (3) yang mengatur bahwa Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Nuklir Komersial yang mana merupakan PLTN dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Koperasi, dan/atau Badan Swasta.
“Apabila ketentuan tersebut nantinya disahkan, monopoli yang diciptakan tersebut akan menutup peluang investasi swasta di sektor ketenaganukliran serta tidak sejalan dengan kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah sendiri yakni semangat yang tertuang dalam UU Cipta Kerja.”, ujar Bob S. Effendi, Kepala Perwakilan ThorCon, Rabu(10/2/21)
Monopoli yang dimaksud bertentangan dengan semangat reformasi yang tertuang dalam UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tak hanya itu, monopoli tersebut juga akan bertentangan dengan semangat Pemerintah untuk membuka investasi yang seluas-luasnya, ini akan membuat investasi di bidang ketenaganukliran semakin tertutup bukannya semakin terbuka seperti pada banyak sektor lainnya sebagaimana yang sedang digencarkan oleh Pemerintah.
Sementara itu, dalam Pasal 7 Ayat (4) Draf RUU EBT mengatur bahwa
“Pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning Pembangkit Panas Nuklir dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Koperasi dan/atau Badan Swasta”.
Ketentuan mengenai Pembangkit Panas Nuklir bahkan belum pernah diatur baik dalam UU Ketenaganukliran sebagai UU Induk di bidang Nuklir maupun peraturan turunannya. Bahkan, di dunia untuk pembangkit panas nuklir sendiri belum pernah diaplikasikan/dibangun.
Dua aturan diatas yakni Pasal 7 Ayat (3) dan (4) memperlihatkan adanya “aturan yang kontradiksi” karena PLTN yang telah banyak dibangun dan dioperasikan secara komersial oleh banyak negara di dunia hanya dilaksanakan oleh BUMN Khusus yang akan menimbulkan praktik monopoli, sedangkan Pembangkit Panas Nuklir yang belum diaplikasikan/dibangun secara komersial di dunia bisa dibangun dan dioperasikan oleh BUMN, Koperasi dan/atau Badan Swasta.
Padahal sebagaimana yang diketahui, tidak ada APBN untuk membangun PLTN, bahkan Menteri Riset dan Teknologi pada Seminar “PLTN, sebuah keniscayaan” di FMIPA UI, 13 November 2019, menekankan pembangunan PLTN sudah semestinya tidak berasal dari APBN, yang mana peran swasta sangat berperan penting disini.
“Aturan-aturan ini akan semakin menimbulkan ketidakpastian dalam dunia ketenaganukliran karena bertentangan dengan peraturan yang sudah ada maupun di dalam praktiknya”, tutup Bob.