Adaro

Adaro Perkirakan Target Produksi Batubara 2021 sebesar 52-54 juta Ton 

Jakarta, Ruangenergi.comPT Adaro Energy, Tbk, (Adaro) mengungkapkan, produksi batubara di tahun 2021 diperkirakan akan tetap sama atau sedikit menurun secara year-on-year (y-o-y) dan ditargetkan mencapai 52-54 juta ton.

Head of Corporate Communication, Febriati Nadira, mengatakan, dalam Laporan Operasional Kuartal Keempat 2020, yang dilakukan Adaro, menjelaskan bahwa panduan nisbah kupas yang ditetapkan sebesar 4,8x lebih tinggi secara y-o-y karena mengikuti sekuens penambangan dan perusahaan harus mengupas lapisan penutup dengan volume yang lebih besar.

Selain itu, kata Ira sapaan akrabnya, Perseroan terus berdisiplin dalam penggunaan belanja modal (capex). Di mana panduan capex tahun 2021 ditetapkan pada kisaran AS$200 juta sampai AS$300 juta.

target belanja modal ini meliputi pemeliharaan rutin dan capex pertumbuhan. Panduan EBITDA operasional pada tahun 2021 berada pada kisaran AS$750 juta – AS$900 juta.

Sebagaimana diketahui bahwa produksi batubara Adaro pada tahun 2020 turun 6% y-o-y atau sebesar 54,53 juta ton.

Jumlah tersebut diketahui sedikit melebihi panduan yang ditetapkan Perseroan yakni sebesar 52-54 juta ton. Akan tetapi, volume penjualan batu bara pada tahun ini tercatat mencapai 54,14 juta ton, atau turun 9% periode y-o-y.

Ia menambahkan, dalam tinjauan pasar batubara termal, tercatat volume impor batu bara seaborne pada 4Q20 lebih tinggi daripada kuartal sebelumnya. Hal ini seiring dengan pemulihan kegiatan ekonomi serta meningkatnya penyerapan oleh China untuk kebutuhan musim dingin, di tengah keterbatasan suplai.

Menurutnya, China mengalami kekurangan suplai karena aktivitas penambangan domestiknya terkendala oleh serangkaian kecelakaan tambang, pemeriksaan keselamatan, dan investigasi tindak korupsi, yang pada akhirnya menekan output.

“Ketika memasuki musim dingin pada akhir bulan November, pasar domestik China mengerucut dan persediaan berkurang. Kekurangan pasokan semakin memburuk di bulan Desember, ketika suhu yang rendah di musim dingin mendorong peningkatan pembakaran batu bara dan mengurangi persediaan pembangkit listrik di wilayah pesisir menjadi 10 hari (dari 15 hari setahun yang lalu),” katanya keterangan resminya, Rabu, (17/02).

Dikatakan olehnya, harga batu bara domestik melebihi harga tertinggi yang dapat diterima oleh pemerintah China sejak awal 4Q20.

kemudian, sebelum pengisian persediaan untuk musim dingin, China menerapkan pembatasan impor batu bara dari Australia, yang kemudian menciptakan permintaan terhadap sumber alternatif impor batu bara dari tempat lain. Namun, suplai dari negara-negara ex-Australia menjadi terbatas akibat pengaruh La Nina.

“Hal-hal ini membuka lebar arbitrase impor ke China dan mengakibatkan ekspor batu bara termal Indonesia ke China pada 4Q20 naik 45% q-o-q dan 63% y-o-y. Cuaca dingin yang mendadak di Asia Timur Laut juga mendorong Jepang dan Korea Selatan untuk memproduksi lebih banyak listrik dari PLTU,” bebernya.

ia menjelaskan, kapasitas nuklir Jepang berkurang, dengan produksi listrik dari tenaga nuklir pada bulan November turun 76% dari bulan ke bulan (m-o-m) dan 66% y-o-y. Di saat yang sama, suplai LNG mengerucut akibat masalah suplai dan antrian kapal di Terusan Panama, sehingga meningkatkan harga perolehan (landed price) spot LNG bagi negara-negara Asia Timur Laut.

“Cuaca yang lebih dingin juga mendorong peningkatan permintaan pemanas di tengah terbatasnya ketersediaan nuklir dan LNG dan hal ini menyebabkan kekurangan listrik serta melonjaknya harga listrik di Jepang. Kondisi yang sama mendorong Korea Selatan untuk menambah impor batu bara termal pada bulan November 2020 sebesar 14% m-o-m dan pada akhirnya memungkinkan peningkatan pembakaran batu bara di musim dingin,” tuturnya.

Dari sisi suplai, lanjut Ira, pengekspor utama batu bara seaborne mengalami cuaca keras yang berdampak terhadap suplai dan logistik batu bara. Di Australia, angin kencang di bulan November berdampak terhadap kapasitas throughput di Newcastle Coal Infrastructure Group sebesar 40%.

Selain itu, katanya, permintaan yang lemah mengakibatkan Glencore menghentikan operasinya pada liburan Natal dan Tahun Baru sementara di operasi tambang batu bara Hunter Valley di New South Wales para kontraktor diberhentikan.

“Suplai batu bara Indonesia juga dipersulit oleh La Nina, yang menyebabkan hujan lebat, banjir dan gelombang tinggi di Kalimantan sejak November 2020,” ujarnya.

“Tambang dan jalan angkutan dilanda banjir sementara antrian kapal semakin menumpuk di pelabuhan muat karena ombak yang tinggi. Akibatnya, sebagian besar produsen terpaksa menangguhkan pengiriman kargo,” sambung Ira

Hal tersebut juga terjadi pada operasi di pelabuhan-pelabuhan Rusia Timur, di mana kargo ekspor berlayar ke Asia Timur Laut, juga terhalang oleh laut yang membeku di bulan Desember. Permintaan yang tinggi karena musim dingin, suplai yang terkendala cuaca dan larangan China terhadap batu bara Australia berkontribusi terhadap pemulihan harga batu bara seaborne pada 4Q20.

“Indeks rata-rata ICI3 dan ICI4 meningkat kembali, masing-masing sebesar AS$9,78/t (+27%) dan AS$8,00/t (+33%) q-o-q menjadi AS$46,28/t dan AS$31,97/t. Harga rata-rata gCN juga naik sebesar AS$15,10/t (+29%) q-o-q menjadi AS$66,64/t, dimana harga gCN pada minggu terakhir 2020 mencapai AS$85,31/t,” jelas Ira.

Sementara, terkait Tinjauan Pasar batubara metalurgi, Adaro menjelaskan, psar batubara metalurgi dipimpin oleh permintaan China pada 4Q20, yang ditunjang oleh produksi baja yang stabil dan ekspansi sektor manufaktur.

Laju utilisasi tanur tiup China bertahan di atas 90% di sepanjang kuartal ini dan PMI secara konsisten menunjukkan ekspansi dari bulan Oktober (PMI = 51,4) sampai Desember (PMI = 51,9). Akibatnya, produksi baja kasar China pada 4Q20 meningkat hampir 9% y-o-y, bersamaan dengan rekor tertinggi tahunan produksi baja kasar sebesar 1,053 miliar ton.

Produksi baja kasar 4Q20 juga meningkat sebesar 16% q-o-q di Jepang, 8% q-o-q di India dan 3% q-o-q di Korea Selatan, yang ditunjang oleh penguatan industri otomotif dan peningkatan aktivitas manufaktur.

Periode 4Q20 juga mengalami penurunan suplai, namun dampak untuk menyeimbangkan harga FOB Australia tertahan akibat penurunan permintaan dari China setelah diterapkannya pembatasan impor batu bara dari Australia.

“Tambang Grosvenor Anglo American (Australia) terus tidak beroperasi dan Queensland dilanda banjir. Namun, efek penurunan produksi dan kendala logistik tidak berarti,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, ketiadaan permintaan China berkontribusi terhadap penurunan harga PLV FOB Australia dari 3Q20 menjadi sekitar AS$100/ton mulai tanggal 13 November 2020. Platts PLV FOB Australia melemah menjadi AS$110,00/ton pada 4Q20, atau turun AS$3,61/ton (-3%) q-o-q.

Di sisi lain, pengguna akhir di China membayar harga premium untuk batu bara metalurgi non Australia yang berasal dari Indonesia, AS dan Kanada.

Terlihat adanya suplai Mongolia ke China pada periode lockdown di seluruh negara ini pada bulan November sementara ketersediaan batu bara non Australia terbatas. Konsumsi China terhadap batu bara metalurgi pada 4Q20 mengakibatkan indeks Platts PLV CFR China naik secara q-o-q sebesar AS$33,55/ton (+27%) menjadi AS$158,13/ton.

Sementara terkait tinjauan operasi, Adaro mencatat total produksi batu bara sebesar 54,53 juta ton pada 2020, atau turun 6% y-o-y dibandingkan tahun 2019. AE juga mencatat volume produksi batu bara yang sedikit lebih tinggi dibandingkan panduan tahun 2020 yang ditetapkan sebesar 52-54 juta ton.

Volume penjualan batu bara pada tahun 2020 tercatat mencapai 54,14 juta ton, atau 9% lebih rendah y-o-y. Total pengupasan lapisan penutup pada 2020 mencapai 209,48 million bank cubic meter (Mbcm), atau turun 23% y-o-y, sejalan dengan panduan perusahaan untuk menurunkan nisbah kupas tahun ini.

“Nisbah kupas Adaro pada tahun 2020 mencapai 3,84x, di bawah panduan nisbah kupas yang ditetapkan sebesar 4,30x. Cuaca yang kurang baik di hampir sepanjang tahun merupakan tantangan bagi perusahaan untuk mencapai panduan nisbah kupasnya,” katanya.

Pada 4Q20, Adaro memproduksi 13,43 juta ton dan menjual 13,39 juta ton batu bara, atau masing- masing turun 3% dan 8% dibandingkan 4Q19. Total pengupasan lapisan penutup pada 4Q20 mencapai 49,06 Mbcm, atau turun 21% y-o-y, sehingga nisbah kupas tercatat sebesar 3,65x.

Kuartal ini diwarnai dengan cuaca basah dengan curah hujan yang tinggi dan jam hujan yang panjang di area tambang utama sejak bulan November.

Portofolio penjualan pada tahun 2020 didominasi oleh E4700 dan E4900 yang didukung oleh permintaan yang solid bagi kedua jenis batu bara ini. Pasar Asia Tenggara meliputi 49% dari penjualan tahun 2020, dipimpin oleh Indonesia dan Malaysia. Juga terjadi peningkatan permintaan dari Thailand dan Vietnam berkat adanya operasi pembangkit listrik baru.

Produksi batu bara AE tahun 2021 diperkirakan akan tetap sama atau sedikit menurun secara y-o-y dan ditargetkan mencapai 52-54 juta ton. Panduan nisbah kupas yang ditetapkan sebesar 4,8x lebih tinggi secara y-o-y karena mengikuti sekuens penambangan dan perusahaan harus mengupas lapisan penutup dengan volume yang lebih besar.

AE terus berdisiplin dalam penggunaan belanja modal (capex) dan panduan capex tahun 2021 ditetapkan pada kisaran AS$200 juta sampai AS$300 juta. Target belanja modal ini meliputi pemeliharaan rutin dan capex pertumbuhan. Panduan EBITDA operasional pada tahun 2021 berada pada kisaran AS$750 juta – AS$900 juta.

Walaupun pemulihan ekonomi diperkirakan akan berdampak positif terhadap batubara, perusahaan harus tetap berhati-hati untuk mengantisipasi ketidakpastian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *