Jakarta, ruangenergi.com- Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET) menegasakan Enhanced Oil Recovery (EOR) investasi yang dinilai cukup besar, termasuk resiko cukup besar juga. Belajar dari pengalaman-pengalaman proyek besar yang strategis dimiliki Pemerintah Indonesia, untuk bisa menjamin proyek itu bisa berjalan perlu dibuat menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sudah saatnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memasukan EOR ini ke dalam Proyek Strategis Nasional. Sama seperti proyek-proyek PSN lainnya, sudah waktunya Proyek EOR masuk ke dalam tataran PSN.
Kemudian, pabrikan/manufaktur yang memproduksikan Chemical EOR sebaiknya pembiayaan dimasukan ke dalam Skema Upstream (hulu).
“Contohnya, sama seperti ketika LNG Tangguh dibangun, kemudian juga LNG Masela dibangun, itukan proses produksinya masuk ke dalam Skema Upstream. Kenapa kita tidak membuat manufaktur Chemical EOR itu masuk didalam Skema Upstream. Sehingga dengan demikian kita memperkecil urusan transaksi dengan pihak ketiga sebagai penyedia barang EOR. Padahal chemical EOR itu sangat dibutuhkan, mau dinaikan mau diturunkan produksinya ya kalua ada di dalam Skema Upstream itu bisa diatur sedemikian rupa.” kata Ketua APHMET Didik S.Setyadi dalam pelaksanaan acara Forum Kolaborasi Project Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan tema “Aspek Hukum Optimalisasi Produksi Minyak Bumi Melalui Enhanced Oil Recovery (EOR).
Asosiasi Praktisi Hukum Minyak Gas Bumi dan Energi Terbarukan (APHMET) dan Komunitas Migas Indonesia (KMI) dengan menggandeng Fernandes Partnership dalam acara Forum Kolaborasi Project Enhanced Oil Recovery (EOR) pada Jumat (08/03/2024) di Jakarta.
APHMET menilai perangkat-perangkat hukum seperti Production Sharing Contract (PSC), term and condition diharapkan sesuai dengan kebutuhan EOR itu sendiri. Harus dibedakan term and condition (T&C) konvensional.
Mengenai penerapan EOR di dalam skema Cost Recovery (CR) maupun Gross Split (GS), dapat dipastikan semua menjadi Barang Milik Negara (BMN).
“Bahwa ketika dia (EOR) dibeli, maka capital expenditure (capex) langsung menjadi Barang Milik Negara. Tinggal kemudian Pemerintah membuka dan menghitung, apakah menurut Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menguntungkan di GS-kan, atau lebih menguntungkan di CR-kan? Antara CR atau GS, kan itu pilihan, jangan dikatakan ini lebih baik dari itu, dan itu lebih baik dari ini. Mari kita pikirkan. Di LNG saja bisa pakai trustee borrowing scheme. Nah apakah mungkin di EOR ini pakai trustee borrowing scheme sehingga yang minjamkan uang terjamin pengembaliannya dari skema hulu (upstream) tadi,” tutur Didik.
Di sisi lain, lanjut Didik, ada point penting jika EOR dimasukan ke dalam Skema PSN, maka sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan bahwa semua proyek PSN itu dikawal oleh Jaksa Muda Bidang Intelijen (Jamintel). Sehingga nanti PSN dikawal dan resiko untuk dikriminalisasi akan berkurang.
Yang terpenting lagi, soal intellectual property (IP) di EOR ini. Di negara lain ada ribuan item IP yang didaftarkan, sedangkan di Indonesia baru satu saja EOR yang didaftarkan IP yakni yang ada dikelola oleh Pertamina Hulu Rokan.
“EOR ini merupakan pintu masuk karena nanti kita ketika omong soal CCS-CCUS (carbon capture storage-carbon capture utilization and storage), urusan intellectual property (IP) ini harus kita identifikasi, kita rancangkan, kita dapatkan dan itu jadi asset yang luar biasa,” tegas Didik.