Jakarta, ruangenergi.com – Melangsir data US Geological Survey (USGS) pada 2021 silam menyebutkan bahwa Indonesia jadi negara dengan produksi nikel terbesar dunia. Sedikitnya pada tahun 2021 saja produksinya meningkat hingga 30 persen sehingga menjadikan Indonesia menduduki juara pertama dari sisi produksi.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun menyebutkan, Indonesia saat ini memiliki tambang nikel mencapai 520,87 ribu hektar yang tersebar di tujuh provinsi di Indonesia, yakni Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, Maluku dan Sulawesi Selatan.
Tujuh wilayah tersebut dinilai memiliki kandungan nikel mencapai 11,7 miliar ton dan cadangan 4,5 miliar ton termasuk nikel kadar rendah (limonite nickel) dan nikel kadar tinggi (saprolite nickel).
Keberadaan nikel berlimpah di Indonesia dikatakan sebagai keberadaan harta karun. Apalagi melihat kebutuhan era modern yang akan dicanangkan adalah kendaraan serba listrik. Kondisi ini membuat Indonesia percaya diri untuk memaksimalkan sumber daya yang bisa jadi rebutan dunia. Lembaga Riset Bank Investasi dan Keuangan Amerika Serikat, Morgan Stanley pun memprediksi, bahwa nantinya nikel akan menggeser pamor batu bara.
Pantas saja jika Uni Eropa mengambil langkah akan kebijakan larangan ekspor Indonesia. Diketahui Indonesia mengekspor 98% nikelnya ke China dan sisanya ke Uni Eropa, yang mengartikan ekonomi Benua Biru itu merasa dirugikan dan sangat bergantung terhadap nikel Indonesia.
Timbul pertanyaan dan kekhawatiran, apakah dengan pelarangan ekspor nikel cadangan yang dimiliki di Indonesia akan semakin menipis dan tak sanggup penuhi permintaan dunia?
Berdasarkan analisis International Energy Agency (IEA) pada risetnya dengan judul “Total Nickel Demand by Sector and Scenario 2020-2040” pada 24 Januari 2022, negara tetangga Indonesia, yaitu Filipina diprediksi akan kehabisan nikel pada awal 2030.
Sementara itu, permintaan nikel sebagai bahan baku baterai mobil listrik akan terus bertambah. Di Eropa saja pada 2030 mendatang jumlah permintaannya akan menyamai total permintaan seluruh dunia pada 2021 silam. Belum lagi ada target transformasi hijau melalui “Net Zero Emissions” pada 2050. Angka permintaan meningkat hingga 170% dari permintaan 2020.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin menjelaskan, cadangan bijih dengan kandungan nikel yang lebih besar dari 1,7% memang akan habis pada 2031.
Itu bisa terjadi apabila tidak ada penambahan cadangan dan konsumsi biji yang bisa mencapai tingkatan di mana semua smelter yang direncanakan telah terbangun dan seluruhnya beroperasi dengan kapasitas produksi 210 juta ton bijih basah per tahun.
Sedangkan untuk bijih dengan kandungan nikel lebih besar dari 1,5% diperkirakan akan habis pada 2036. Pelarangan ekspor nikel inilah yang akhirnya diputuskan karena meski Indonesia dapat meraih untung yang sangat luar biasa dari produksi dan ekspor olahan nikel, tapi para pelaku industri dan pemerintah harus tetap memperhatikan persediaan nikel dalam negeri.
Memastikan persediaan mencukupi di tengah permintaan yang meningkat dengan cara ini juga adalah wujud agar harga nikel dunia tidak melambung terlalu tinggi yang nantinya sangat mungkin bisa mengganggu perwujudan transformasi energi hijau yang lebih ramah lingkungan.