Bogor, Jawa Barat, ruangenergi.com-Mantan Kepala BPH Migas yang kini menjabat Guru Besar di Universitas Indonesia, Prof. Andy Noorsaman Sommeng, melontarkan pandangan tajam: pembicaraan tentang Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dicampur etanol sesungguhnya adalah perbincangan tentang politik energi global—cermin yang menyatukan idealisme iklim, kedaulatan pangan, dan ketahanan energi nasional.
Prof. Andy menegaskan bahwa etanol jauh melampaui fungsinya sebagai peningkat oktan. Ia adalah simbol pergeseran paradigma yang menghubungkan sektor pertanian dengan dapur energi dan kebijakan iklim. Di balik setiap campuran (E3, E5, E10, dst.), terselip narasi besar tentang bagaimana sebuah bangsa memilih untuk menjadi merdeka dari ketergantungan minyak fosil.
Peta Dunia Etanol: Dari Tebu Brasil hingga Jagung AS
Global, pilihan etanol adalah soal dominasi komoditas dan konsistensi kebijakan.
1. Brasil: Kisah Sukses yang Lahir dari Krisis.
Negara ini, pasca krisis minyak 1970-an, menjadikan tebu sebagai pilar energi. Hasilnya? Budaya flex-fuel dan otomotif yang hampir sepenuhnya berbasis biofuel. Etanol yang semula solusi krisis kini menjelma menjadi kebanggaan nasional dan instrumen diplomasi energi.
2. Amerika Serikat: Politik Lobi Agrikultur.
AS menempuh jalur berbeda, menjadikan jagung sebagai tulang punggung, didorong oleh kepentingan lobi agrikultur yang kuat. Standar E10 nasional di sana bukan hanya keputusan teknis, melainkan hasil sinergi (atau tarik-menarik) antara politik energi, pangan, dan kekuasaan negara bagian penghasil jagung.
3. Asia: Strategi Mengurangi Impor.
Negara-negara di Asia, seperti India, Tiongkok, Thailand, dan Filipina, melihat etanol sebagai alat strategis untuk mengurangi impor minyak dan menyerap surplus hasil pertanian domestik. India, misalnya, berfokus pada molase (limbah tebu).
Indonesia: Bioetanol yang Masih Berliku
Indonesia, kata Prof. Andy, memiliki jalan yang lebih berliku. Program bioetanol pernah diuji coba, bahkan Pertamina sempat memasarkan *Pertamax E5-E10, namun terhenti karena keterbatasan pasokan bahan baku yang konsisten.
Ironisnya, energi terbarukan berbasis nabati di Indonesia justru lebih pesat berkembang di jalur *biodiesel (B35), yang berbahan baku sawit.
“Pilihan energi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal ketersediaan bahan baku, infrastruktur, dan konsistensi kebijakan,” ujar Prof. Andy, menyoroti bahwa kebijakan energi Indonesia saat ini lebih condong ke sawit dibandingkan tebu atau singkong untuk biofuel.
Etanol: Cermin Kebijakan dan Kedaulatan
Mengutip filsuf Jerman Martin Heidegger, Prof. Andy menyimpulkan, teknologi bukanlah sekadar alat, melainkan cara manusia menyingkap dunia.
* Brasil menyingkap dunia tebu.
* Amerika menyingkap dunia jagung.
* India menyingkap dunia molase.
* Indonesia menyingkap dunia sawit.
Pada akhirnya, etanol bukanlah sekadar cairan pelengkap bensin. Di setiap Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), konsumen mungkin hanya membeli liter, tetapi di baliknya, “Bangsa-bangsa sedang menjual narasi tentang siapa yang lebih merdeka dari minyak.”
Ini adalah pertanyaan mendasar bagi Indonesia: Dunia apa yang ingin kita singkap melalui kebijakan energi kita ke depan?