OPINI
Bom Waktu Bernama PI
Oleh : Godang Sitompul,mantan Ketua Forum Wartawan ESDM (FWESDM)
Latarbelakang:
Ketika Ignasius Jonan masih menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),dia sempat menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest (PI) 10% Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi. Aturan ini ditetapkan tanggal 26 November 2016.
Langkah Jonan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa dalam rangka meningkatkan peran serta daerah nasional melalui kepemilikan participating interest dalam kontrak kerja sama dan untuk melaksanakan ketentuan pasal 34 PP No 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan PP Nomor 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas PP No 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Itulah dasar Jonan menerbitkan Permen (peraturan Menteri) tersebut.
Pasca diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi,menimbulkan banyak reaksi dan aksi.
Lihat saja pemberitan di media massa, perlahan tapi pasti daerah mulai kasak-kusuk ingin mendapatkan hak PI. Tengok saja pernyataan dari Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Pernyataan Bupati Wajo Amran Mahmud meminta PI 10 persen atas blok Sengkang. Permintaan Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau yang mengincar 10% PI di blok Rokan. Belum lagi berita PT Mahakam Gerbang Raja Migas minta ikutan di blok Mahakam,dengan masuk pada angka 39% bukan lagi 10% PI daerah.
Kesemuanya gencar mencari kesempatan masuk di PI blok migas di Indonesia, dan semuanya muncul dalam pemberitaan media massa di tahun 2020 ini.
Maraknya pemberitaan permintaan PI blok migas ini tentu saja tidak lepas dari adanya keyakinan sejumlah pihak yang berpendapat bahwa ketika harga minyak dan gas jeblok di pasar dunia, maka inilah saatnya yang tepat belanja (membeli) participating interest di blok migas di manapun di seluruh dunia.
Segala upaya dilakukan untuk bisa mendapatkan kesempatan masuk (memiliki) hak di dalam PI tersebut, khususnya PI 10% yang diprioritaskan kepada BUMD. Nah, konyolnya BUMD ini biasanya tidak memiliki uang. Modal nekat membidik saham. Alhasil mereka ‘menjual’ hak PI BUMD kepada pihak asing non BUMN. Modusnya dengan private placement diajukan dalam memberikan/menjual hak PI tadi. Si BUMD tadi mendatangi para lenders dengan kertas saham yang menjadi hak BUMD. Tentu saja BUMD bersedia menuruti apa maunya si-lender tadi.
Bisa saja BUMD memiliki pola dengan membayar kewajiban setor modal di dalam PI 10% dengan jalan membayar lewat potong produksi jika blok migas sudah dieksploitasi. Partner yang terbesar porsi saham lah yang menggendong seluruh sunk cost yang dikeluarkan selama masa eksplorasi blok migas tersebut.
Cara lain yang dikerjakan oleh BUMD atau Perusda untuk mendapatkan modal PI 10% melalui pola pelepasan saham BUMD ke pasar bebas. Atau bisa melakukan private placement (Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu) di dalam BUMD.
Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Bahasa Inggris: private placement) atau disingkat PMTHMETD adalah aksi penambahan modal dengan cara menerbitkan saham baru oleh perusahaan yang penjualannya langsung ditargetkan ke investor besar atau grup investor, tanpa melalui transaksi regular di bursa saham.
Sama seperti HMETD pada rights issue, tujuan utama PMTHMETD atau private placement adalah menambah modal perusahaan yang dapat digunakan untuk ekspansi, pembayaran hutang, atau pembayaran operasional perusahaan lainnya. Private placement juga bisa digunakan untuk merekrut investor strategis yang dapat membantu jalan dan perkembangan perusahaan.
Perbedaan mendasar dari rights issue dan private placement adalah tidak adanya hak bagi pemegang saham lama untuk membeli saham baru yang akan diterbitkan pada private placement. Jumlah maksimal saham baru yang bisa diterbitkan oleh perusahaan pada aksi private placement adalah 10% dari total modal ditempatkan dan disetor penuh. Sedangkan nilai yang dipakai untuk menentukan harga dari saham baru adalah harga rata – rata penutupan 25 hari aktif bursa berturut – turut.
Permasalahan :
Issue PI 10% BUMD di wilayah kerja perminyakan lepas pantai maupun daratan yang dikelola oleh kontraktor kontrak kerjasama migas (KKKS) SKK Migas,tidak pernah habis-habisnya dibahas.
Sejak zaman Purnomo Yusgiantoro menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, lantas berganti nama menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau dengan kata lain dari tahun 2000 hingga tahun 2020, masalah PI ini menjadi momok menakutkan membayang-bayangi investasi migas di Indonesia.
Permasalahannya, terkesan ada ketidakrelaan dari KKKS di bawah kendali SKK Migas, rela memberikan 10 persen saham kepada daerah,ataupun BUMD yang ada di dalam blok migas mereka. Ada kesan traumatic mengkooptasi pemikiran para petinggi KKKS tersebut.
Mereka takut kasus kegagalan pengelolaan CPP Block (coastal plain pakanbaru) yang dikerjakan oleh Badan Operasi Bersama PT Pertamina Hulu Energi dengan PT Bumi Siak Pusako, terulang kembali. BOB PHE-BSP dinilai tidak sukses meningkatan produksi blok CPP waktu itu.
Sementara itu,ada seorang Bupati memerintahkan BUMD/Perusda yang ada di bawah kendali kabupaten yang dipimpinnya meningkatkan PAD dengan masuk ke dalam PI 10% blok migas yang masuk zona wilayah kerja daerah kekuasaaan sang bupati tadi.
Si Bupati menulis surat ke sana ke mari minta dukungan, minta persetujuan agar bisa dapat bagian di PI 10%. Padahal jelas-jelas daerah itu masuk ke dalam zona kemiskinan di wilayah Indonesia. Artinya, boro-boro bisa memberikan modal,ataupun menanggung sunk cost di dalam share holder blok migas. Lah wong untuk ‘menghidupkan’ daerahnya saja sudah empot-empotan. Kebayangkan, jika ada banyak bupati nafsu besar tapi kantong kempes.
Sudah begitu,KKKS yang memiliki blok migas tadi, terlihat enggan memberikan kesempatan kepada BUMD/Pemkab/Pemda masuk ke dalam bagian 10% tadi. Alasannya bermacam. Di antaranya si KKKS meminta agar PI 10% tadi dianggap hutang BUMD, dan ini yang mengejutkan…minta dianggap/dihitung sebagai cost recovery ke Pemerintah Indonesia.
KKKS tadi bersedia memberi PI 10% asalkan Pemerintah Cq SKK Migas menyetujui memasukkan pembayaran PI tadi ke dalam work program and budgeting (WPNB) untuk disapprove komponen cost recovery.
Rekomendasi:
Ada baiknya Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan KKKS sama-sama setuju menempatkan diri sebagai pihak yang ikut bertanggungjawab atas produksi migas di blok migas yang dioperasikan oleh KKKS yang disudah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM. Maju mundurnya produksi menjadi tanggungjawab semua pihak tadi.
Ketika daerah ingin PI 10%, maka hal itu bisa diberikan asalkan:
1. Sunk cost yang sudah dikeluarkan diperhitungkan sebagai biaya yang harus ditanggungbersama tanpa cost recovery ketika blok migas masuk dalam tahapan eksplorasi.
2. Penempatan modal awal ditetapkan mengedepankan konsep business to business (b to b), dimana masing-masing pihak sepakat atas modal disetor pada awal kegiatan eksplorasi. Artinya, jika BUMD ataupun Perusda hanya memiliki modal minim, maka modal itu dianggap sebagai penempatan modal Pemerintah Daerah.
3. Ketika suatu sumur di dalam suatu lapangan di blok migas sudah berproduksi maka seluruh hasil,ataupun pemanfaat produksi dibagi sesuai dengan porsi saham masing-masing. Hanya saja, diberlakukan pemotongan produksi berdasarkan sunk cost awal yang dikeluarkan oleh operator migas. Umpamanya, jika KKKS mengeluarkan sunk cost US$ 1 miliar, sedangkan BUMD/Perusda hanya menyetor modal sedikit sekitar US$ 10 ribu, maka sisa kekurangan sunk cost tadi dibebankan juga ke BUMD dengan potong pendapatan/bagian dari produksi migas di blok tersebut.
4. Perusda/BUMD diperkenankan mencicil asalkan PI tidak dijual ataupun diagunkan ke pihak lain. BUMD/Perusda menempatkan jaminan asset-asset Pemda/Pemkab sebagai agunan atas keseriusan mengelola blok migas tadi.
5. BUMD/Perusda meminta ke Pemda/Pemkab untuk mempermudah proses perijinan yang berkaitan langsung untuk membantu kegiatan operasi produksi blok migas yang dikelola oleh operator/KKKS. Termasuk menjamin tidak ada gangguan non teknis terhadap kegiatan operasi produksi migas.
Namun apabila ingin lebih mudah prosesnya tanpa menghindari masalah di atas, maka sebaiknya Pemerintah Pusat membayar royalty kepada Pemda/Pemkab dari bagian Pemerintah Pusat. Dengan demikian problematika di atas bisa dipecahkan tanpa harus merubah kontrak antara KKKS dengan SKK Migas. Dimana Pemerintah Daerah menyerahkan PI 10% kepada Pemerintah Pusat tapi imbalannya mendapatkan royalty.
Jangan sampai ini menjadi suatu keputusan yang tidak berdasar dan tanpa ada kajian yang baik merupakan beban negara yang dirasa sangat berat dimasa yang akan datang…dan dampaknya sangat significant untuk pertumbuhan ekonomi.