Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, menyambut baik sekaligus berupaya untuk menaikkan produksi Minyak (Enhanced Oil Recovery) dan Gas (Enhanced Gas Recovery).
Ia mengatakan, studi yang dilakukan oleh salah satu institusi Jepang di Blok Gundih menjadi jawaban terhadap perubahan Iklim dunia.
“Studi Carbon Capture and Storage (CCS) yang telah dijalin dengan institusi Jepang sejak tahun 2012 di Blok Gundih. CCS/CCUS adalah salah satu jawaban untuk merespons target program perubahan iklim dunia yang telah disepakati,” jelas Tutuka kepada Ruangenergi.com, (10/04).
Untuk itu, dirinya menyambut baik upaya menaikkan produksi minyak (EOR) dan gas (EGC).
Dalam catatan Ruangenergi.com, Carbon Capture and Storage atau CCS merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.
Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang (capture), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).
Dalam penerapan CCS di Indonesia, setidaknya terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sumber CO2 yang signifikan, tempat penyimpanan yang sesuai, dan dapat memenuhi kriteria ekonomi dan politis.
Menurut konvensi Protokol Kyoto Indonesia termasuk ke dalam kelompok anggota yang tidak berkewajiban untuk menurunkan emisi (non-Annex-1), sehingga penerapan CCS sebagai pengurang emisi CO2 untuk keperluan mitigasi perubahan iklim tidak merupakan keharusan.
Namun demikian, perkembangan negosiasi sejak COP-13 di Bali akhir tahun 2007 menyepakati bahwa negara anggota akan melakukan pengurangan emisi CO2 secara signifikan.
Negosiasi informal di luar konvensi dan COP-UNFCCC seperti Major Economies Forum (MEF) sepakat untuk berupaya menjaga agar kenaikan temperatur rata-rata tidak melebihi 20C pada tahun 2050. Kesepakatan ini dapat diterjemahkan bahwa untuk mencapai target tersebut, negara-negara maju harus menurunkan emisinya sebanyak 85% dari baseline 1990 dan negara-negara berkembang sebesar 50% dari BAU hingga tahun 2050.
Dengan perkembangan ini, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (non-Annex-1) yang tergolong Major Economy terbebani oleh moral politis untuk ikut mengoptimalkan penurunkan CO2. Di sisi lain, mengingat mahalnya biaya CCS, penerapan CCS murni untuk keperluan mitigasi masih belum diaplikasikan di Indonesia. CCS baru diterapkan di Indonesia bila memberikan nilai tambah untuk dapat mengkompensasi biaya tersebut.