Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com- Tantangan demi tantangan dihadapi oleh industri yang berkecimpung di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), khususnya di sektor pertambangan mineral.
Mulai dari demo masyarakat di sekitar area pertambangan, aksi NGO Internasional dan domestik yang menghajar habis-habisan dengan isu pencemaran lingkungan.
Issue yang diangkat oleh NGO Internasional maupun Domestik, adalah eksploitasi tambang menyebabkan konflik sosial, gangguan mata pencaharian nelayan dan petani lokal, serta merusak kearifan dan identitas budaya masyarakat.
Mereka mengecam, kegiatan tambang mencemari laut, merusak terumbu karang, dan merugikan ekowisata serta mata pencaharian masyarakat lokal.Penebangan hutan seluas lebih dari 500 hektar, serta sedimentasi dan limpasan tanah akibat gundulnya tanaman penutup yang mengancam terumbu karang dan ekosistem laut.
Seabrek tuntutan diajukan mereka kepada otoritas pertambangan dan lingkungan di negeri ini. Mereka mendesak Pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan pertambangan yang dinilai merusak tata kelola lingkungan dan alam.
Pertambangan secara umum dapat merusak lingkungan, terutama jika tidak dikelola dengan benar. Dampaknya bisa sangat luas, tergantung jenis tambang, metode eksploitasi, dan sensitivitas wilayah sekitarnya.
Pertambangan bisa merusak lingkungan jika dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan.
Namun, dengan teknologi ramah lingkungan dan penerapan regulasi yang ketat, dampak ini dapat diminimalkan, seperti melalui reklamasi lahan bekas tambang, pengolahan limbah, dan pengawasan ketat terhadap perizinan dan dampak lingkungan.
Perlu dicatat di dalam diri kita masing-masing, apakah kita sebagai manusia mahluk ciptaan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa rela jika lingkungan dirusak akibat ulah segelintir manusia? Tentu saja tidak. Namun, apakah kita boleh menghujat, menghantam sampai modyar, terkapar terkewer-kewer para pelaku usaha pertambangan?
Yang jelas, perlu diketahui bersama. Industri pertambangan dibutuhkan untuk mensupport kehidupan manusia. Kalau dulu di zaman purbakala, manusia makan memakai tangan untuk menyuap makanan ke mulutnya, kini memakai sendok dan garpu yang terbuat dari stainless steel. Makanan ditaruh dengan rapih di piring dan mangkok yang jelas-jelas dibuat dari hasil pertambangan.
Dulu sulit menelepon seseorang pujaan hati nun jauh di sana, musti cari wartel (warung telepon) untuk bisa menelepon. Kini, dengan handphone mudah menghubungi seseorang kapan pun dan di mana pun berada.
Ponsel (handphone) adalah contoh nyata bagaimana hasil tambang ada di kehidupan sehari-hari. Sekitar 30–50% komponen ponsel berasal dari hasil tambang, tergantung jenis dan spesifikasi ponselnya.Total berat logam dalam ponsel modern: sekitar 30–40% dari total bobotnya (sekitar 40–60 gram dari ponsel seberat 150 gram).Kandungan emas dalam 1 ponsel: sekitar 0.034 gram (perlu ±30-40 ponsel untuk mendapat 1 gram emas).Sekitar 30–50% isi ponsel berasal dari hasil pertambangan, termasuk logam langka, logam mulia, dan bahan industri penting.
Jadi, saat kamu memakai handphone, kamu sebenarnya memegang “hasil tambang global” dari berbagai negara — termasuk Indonesia (nikel, timah, tembaga), Republik Demokratik Kongo (kobalt), dan Tiongkok (rare earth).
Godang Sitompul, Pemimpin Redaksi