Jakarta,ruangenergi.com-Seluruh perusahaan di dunia sekarang harus comply dengan aturan “Sustainable Development” yang mana bila perusahaan ingin sustain maka diharuskan untuk melihat aspek Enviornment, Social, Governance.
Perusahaan dituntut bukan hanya bisa beroperasi secara teksnis, tetapi juga perlu ikut berpartisipasi terhadap kelestarian lingkungan; memastikan perusahaan memiliki good Governance yaitu beretika untuk tidak melakukan ‘bribing’, ‘corruption’, dan sebagainya.
Selain itu perusahaan harus juga memperhatikan aspek social masyarakat seperti grievance mechanism, memperhatikan human right issues, CSR dan lain sebagainya.
Seorang sahabat yang malang melintang bekerja di industri migas milik orang Indonesia maupun milik pengusaha Amerika Serikat,sebut saja Mister Kaka,berceloteh bahwa Sustainable Development ini sudah menjadi Bagian dari “License to Operate” bagi industry extraksi diseluruh dunia.
Sebagai praktisi migas yang puluhan tahun sudah bekerja di industri migas, Mister Kaka menuturkan bahwa bank-bank dan investor diwajibkan meng-evaluasi bagaimana standard ESG perusahaan minyak di Indonesia. Menurut dia,apakah sudah memenuhi standard internasional? Kemudian,bila perusahaan minyak milik Indonesia menjadi operator apakah akan ada insitusi finansial internasional yang akan mendukung operasi dan bisnis perusahaan migas tersebut?
Definisi ESG
Nah,ada baiknya kita bersama mencermati apa itu definisi ESG yang dimaksud praktisi migas tadi. ESG merupakan sebuah standar perusahaan dalam praktik investasinya yang terdiri dari tiga konsep atau kriteria: Environmental (Lingkungan), Social (Sosial), dan Governance (Tata Kelola Perusahaan).
Nah,perusahaan yang menerapkan prinsip ESG dalam praktik bisnis dan investasinya akan turut mengintegrasikan dan mengimplementasikan kebijakan perusahaannya sehingga selaras dengan keberlangsungan tiga elemen tersebut.
Kemudian,jangan lupa bahwa kriteria lingkungan akan menjadi konsiderasi utama perusahaan untuk melakukan performa finansial dan operasi yang tinggi namun bersifat berkelanjutan dan tidak merusak alam.
Kriteria sosial akan berusaha untuk mendalami hubungan baik antara masyarakat luar dengan perusahaan, maupun antara pekerja, pemasok produk, pelanggan, komunitas, dan sebagainya.
Kriteria tata kelola perusahaan membahas mengenai kapasitas dan legitimasi sebuah perusahaan, hubungan internal, kontrol internal, hak-hak investor, dan sebagainya.
Mungkin pembahasan sederhana di atas masih terkesan taksa dan abu-abu, sehingga memunculkan beberapa pertanyaan, seperti: Lantas, mengapa konsep ESG dan keberlanjutan terikat kepada sebuah perusahaan?
Untuk menjawab hal ini, sebelumnya kita akan membahas lebih lanjut mengenai kriteria-kriteria ESG dan hubungannya yang erat dengan keberlangsungan perusahaan.
1. Kriteria Lingkungan (Environment)
Kriteria lingkungan pada ESG turut membahas mengenai penggunaan energi sebuah perusahaan, limbah, polusi, konservasi sumber daya alam, dan perilaku terhadap flora dan fauna.
Dengan menempatkan kriteria lingkungan dalam manajemen resiko perusahaan, tentunya akan meminimalisir resiko berpotensi hadir dari kriteria lingkungan tersebut. Kriteria ini juga bisa digunakan untuk melakukan evaluasi sebuah perusahaan dalam bagaimana entitas perusahaan terkait beroperasi.
Integrasi ESG dengan sebuah perusahaan pun harus selalu diiringi dengan komitmen dan implikasinya pada kebijakan perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan yang telah mengintegrasikan kriteria lingkungan pada perusahaannya dapat membuat atau merevisi regulasi dan kebijakan perusahaannya pada isu yang terkait. Penggunaan energi yang lebih terbarukan, efisiensi sumber daya alam, manajemen limbah dan pembuangan merupakan beberapa implikasi nyata hasil dari integrasi perusahaan pada kriteria lingkungan.
Tentunya, komitmen ini akan memberikan dampak positif–baik kepada perusahaan maupun kepada lingkungan. Dengan kondisi lingkungan yang baik dan mendukung, maka sebuah perusahaan pun akan mendapatkan keberlanjutan dalam operasi bisnisnya.
Dengan kata lain, melalui manajemen risiko yang baik maka peforma finansial perusahaan pun akan lebih mudah untuk tercapai.
2. Kriteria Sosial (Social)
Kriteria sosial dalam ESG lebih melihat hubungan sebuah perusahaan secara eksternal. Komunitas, masyarakat, pemasok, pembeli, media, dan entitas-entitas lain yang memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung adalah hal yang harus dikonsiderasikan melalui kriteria sosial ESG.
Hal ini disebabkan beberapa faktor dari kriteria sosial akan memberikan dampak pada performa finansial perusahaan.
Tentunya, siap atau tidak siapnya sebuah perusahaan dalam mengadaptasikan posisinya pada masalah sosial akan mempengaruhi citra sebuah perusahaan. Sehingga, memfokuskan dan mendalami isu-isu sosial menjadi resiko manajemen perusahaan merupakan konsiderasi yang harus diimplementasikan dalam kebijakan perusahaan.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan harus bergerak secara aktif untuk terus mendalami isu dan hak pekerjanya. Pertama, karena kesadaran akan hak pekerja adalah hal yang semakin mudah untuk diakses dan dipahami. Kedua, karena jika hak pekerja tidak dapat terpenuhi, kemungkinan tinggi masalah ini akan bermanifestasi untuk lebih besar dan merambat pada entitas-entitas sosial lain.
Sehingga, perusahaan harus menjadi aktor pertama dan terdepan untuk melihat kriteria sosial ESG untuk diimplementasikan dalam kebijakan perusahaan.
Serupa dengan kriteria lingkungan, apabila kriteria sosial dapat disingkapi dan dikelola dengan baik maka tentunya hal ini akan kembali ke performa finansial dan keberlanjutan sebuah perusahaan.
3. Kriteria Tata Kelola (Governance)
Kriteria governance atau tata kelola perusahaan memokuskan pada bagaimana sebuah perusahaan memiliki proses pengelolaan yang baik dan berkelanjutan pada bagian internalnya. Jika kriteria sosial memokuskan pada hubungan eksternal, maka kriteria governance melihat manajemen atau tata kelola sebuah perusahaan.
Kriteria ini membahas dan mencakup aktivitas perusahaan, tergantung aktivitas manajemen dan pemilik perusahaan. Sehingga hasil atau output yang dirancang seperti kebijakan perusahaan, standar perusahaan, budaya, penyingkapan informasi, proses audit dan kepatuhan merupakan hal-hal yang turut diperhatikan.
Hal ini tentunya menjadi nilai plus bagi perusahaan. Nilai plus ini kemudian dapat dikonversikan untuk memberikan kepercayaan diri calon investor untuk berinvestasi pada perusahaan terkait.
Sebagai contoh, tata kelola keuangan perusahaan yang transparan, legal dan tidak melanggar hak etik tentunya adalah hal yang selalu diperhitungkan oleh investor.
Sebaliknya, perusahaan yang memiliki sistem manajemen yang tidak transparan, melanggar hukum, dan hak etik tentunya akan menjadi nilai negatif pada praktik bisnis dan investasinya. Pemalsuan data, korupsi, skandal internal, konflik kepentingan adalah risiko-risiko internal yang harus dikonsiderasikan dan dihitung pada pengambilan dan perancangan regulasi perusahaan.
Kegagalan komitmen perusahaan untuk mengedepankan ESG sebagai kriteria dalam praktik investasinya pun bisa menjadi masalah.Semoga ini tidak terjadi di dalam industri migas di Indonesia.
Godang Sitompul,Pemimpin Redaksi