Catatan Redaksi: Langkah Pertamina Naikkan Harga Pertamax Patut Diapresiasi

Jakarta,ruangenergi.com-Melonjaknya kenaikan harga minyak dunia berdampak terhadap peningkatan harga keekonomian produk BBM dan LPG di dalam negeri.

Dengan perkembangan harga ICP di bulan Maret 2022 yang sudah mencapai lebih dari US$110 per barel ada potensi harga jual keekonomian bahan bakar minyak untuk jenis RON 92 dapat mencapai lebih Rp17.000 per liter, sementara untuk jenis BBM RON 90 dapat mencapai lebih dari Rp16.000 per liter, sementara untuk jenis BBM solar dapat mencapai Rp17.000 per liter.

Namun akhirnya,mulai tanggal 1 April 2022 pukul 00:00 waktu setempat, BBM Non Subsidi Gasoline RON 92 (Pertamax) disesuaikan harganya menjadi Rp12.500 per liter (untuk daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor /PBBKB 5%), dari harga sebelumnya Rp9.000 per liter.

Pemerintah diharapkan dapat segera menyiapkan langkah langkah strategis dan beberapa skenario untuk dapat merespon kenaikan harga minyak dunia. Meskipun saat ini kenaikan harga minyak yang terjadi memberikan tekanan terhadap subsidi energi dalam APBN 2022, namun sedikit tertolong oleh naiknya harga komoditas seperti batubara, nikel, dan CPO terhadap penerimaan negara.

Kenaikan harga BBM non subsidi seperti diperkirakan tidak akan menggangu daya belum masyarakat. Penyesuaian harga BBM RON 92 yang lebih ramah lingkungan juga dinilai tidak banyak berdampak pada indikator ekonomi makro.

Salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan harga BBM RON 92 ke atas tidak menyebabkan inflasi adalah karena proporsi konsumsi BBM RON 92 ke atas sangat kecil dan tidak banyak digunakan oleh transportasi logistic sehingga tidak secara langsung menaikan biaya distribusi yang berpotensi meningkatkan kenaikan harga harga kebutuhan pokok dan memicu inflasi

Akan tetapi ada beberapa potensi risiko fiskal yang harus diantisipasi dari fluktuasi harga minyak yang terjadi. Salah satunya dari sensitivitas risiko fiskal BUMN terhadap perubahan variable ekonomi makro. Fluktuasi harga minyak dapat menimbulkan shock terhadap kinerja BUMN dan menimbulkan eksposur terhadap APBN.
Risiko tersebut, baik terhadap pendapatan negara yang bersumber dari BUMN seperti penerimaan pajak dan dividen, maupun terhadap belanja negara seperti subsidi, serta pembiayaan anggaran seperti penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN.

Dampak Positif

Kenaikan harga minyak mentah di satu sisi berdampak positif terhadap kenaikan kontribusi penerimaan negara dari PT Pertamina (Persero). Berdasarkan simulasi, setiap kenaikan harga minyak US$20 menambah penerimaan negara hingga 17,7 persen. Namun kenaikan harga minyak berdampak terhadap kenaikan biaya operasi BUMN yang berpotensi menyebabkan penurunan laba bersih operasi dan besaran kontribusi pajak yang disetorkan ke Pemerintah.

Selain dari sisi fiskal, pemerintah juga perlu menyiapkan langkah antisipatif di sisi penyediaan guna memastikan kebutuhan suplai stok migas nasional. Pemerintah perlu memastikan agar negara-negara yang selama ini menjadi andalan dalam penyediaan impor nasional masih tetap mengalokasikan produksinya untuk dieskpor ke Indonesia.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)  tahun 2020 diperkirakan bahwa dari total jumlah BBM bersubsidi yang disediakan, sekitar 40 persen diantaranya justru dikonsumsi oleh pengguna kendaraan pribadi roda empat. Kondisi ini mengindikasikan jika penyaluran subsidi BBM masih banyak yang dinikmati oleh kelompok masyarakat yang kurang berhak atau mampu.

Berdasarkan hal tersebut, sebagian pihak menyarankan agar momentum kenaikan harga minyak global yang terjadi saat ini digunakan oleh Indonesia untuk metransformasi penyaluran subsidi BBM yang selama ini berbasis komoditas menjadi berbasis orang. Peralihan subsidi berbasis barang menjadi berbasis orang ini dapat disampaikan dalam bentuk bantuan langsung dan perlindungan sosial serta subsidi tarif transportasi umum.

Dengan dilakukannya transformasi penyaluran subsidi BBM tersebut, beban berat yang dipikul akibat kenaikan harga minyak global dapat terbagi tidak sepenuhnya kepada pemerintah, namun juga badan usaha penyalur migas, badan usaha penghasil batubara dan kelapa sawit, serta kelompok masyarakat mampu. Selain itu dengan mengalihkan subsidi berbasis barang kepada berbasis orang maka arus kas badan usaha penyalur BBM dapat menjadi lebih sehat karena tidak terganggu dengan lamanya pencairan dana kompensasi yang diberikan oleh pemerintah.

Perlu diketahui bahwa pada tahun 2015, pemerintah juga sempat melakukan reformasi subsidi energi dengan penghapusan subsidi BBM jenis Premium dan menghapuskan 12 golongan pelanggan listrik dari daftar penerima subsidi listrik.
Perlu juga diperhatikan, bahwa secara historis Indonesia pernah memberlakukan harga BBM bersubsidi sampai dengan Rp8.500 per liter di tahun 2014.

Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk berani melakukan penyesuaian harga BBM khususnya yang bersubsidi sehingga gap antara harga jual BBM bersubsidi dengan harga BBM acuan tidak terlalu besar. Selain memperkecil beban subsidi di dalam anggaran, hal ini juga dapat memperkecil potensi penyelundupan atau penyelewengan BBM bersubsidi.

Langkah tepat PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Pertamax. Walau masih merugi meskipun harga sudah dinaikkan, ini patut diapresiasi.

Godang Sitompul,Pemimpin Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *