Jakarta, ruangenergi.com- Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiana Dewi Raih mengatakan untuk beralih ke energi terbarukan (EBT) harus ada masa transisi.
EBT identik dengan intermitensi, naik-turun jadi tidak menentu. Kalau angin malam hari saja besar anginnya, solar pv (photovoltaic) siang hari saja mataharinya besar energi cahayanya.
“Itu sebabnya harus ada kestabilan energi, kehandalan energi dan keamanan energi. Dan ini sementara masih pakai coal. Pada masa kita ingin masuk ke EBT ini, kita masuk sedikit-sedikit tapi nanti saat EBT nya murah, saya yakin 2030 EBT itu turning point.Solar cell saya yakin 50% itu turun. Itu di dalam berbagai studi sudah ada, internasional energy agency study sudah banyak mengeluarkan hasil studinya. Dalam waktu itu, kita (EBT) masuk perlahan-lahan, dan nanti tergenjot kalau harganya tadi turun,” kata Eniya menjawab pertanyaan ruangenergi.com, usai acara Penandatangan PKS EBTKE dengan IBEKA, Kamis (18/07/2024), di Jakarta.
Eniya bercerita, coal (batu bara) dalam masa transisi ini digantikan ke gas bumi. Gas itu kan low carbon jadi sangat ramah lingkungan.
“Dulu itu di Tokyo, Jepang, sejak Kyoto Protocol 2002, dan di 2006 Tokyo langsung mengeluarkan regulasi bahwa semua kendaraan logistik yang masuk gak boleh pakai bensin. Harus ganti ke gas. Itu wajib. Jadi semua truk industri, yang long haul truck, truk logistik yang kontainer-kontainer itu semua masuk Tokyo pakai gas. Nah itu sudah menurunkan emisinya. Kembali digenjot yang lainnya, ada electric vehicle, ada gas dan lain sebagainya.Hydrogen termasuk ya.Nah mereka (Jepang) strateginya begitu,” urai Eniya bercerita pengalamannya waktu sekolah di Tokyo.
Prof. Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi adalah salah satu ilmuwan wanita Indonesia. Ia adalah alumnus S1-S3 dari Waseda University di Jepang. Program S1 di Waseda University ditempuh dengan menggunakan beasiswa dari Science and Technology Advance Industrial Development Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
Eniya berharap, konsep transisi energi Indonesia bisa seperti yang Jepang lakukan. Coal berbasis ke gas dulu baru full ke renewable energy.