Jakarta, Ruangenergi.com – China dikabarkan akan membangun sebanyak 43 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara.
Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh organisasi penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) and the U.S. group Global Energy Monitor (GEM), pembangunan PLTU tersebut setara dengan menambahkan emisi karbon sekitar 1,5%.
Dikutip dari Time.com, Penasihat Kebijakan Global Senior untuk Greenpeace China, Li Shuo, mengatakan bahwa proyek-proyek baru diumumkan pada paruh pertama tahun ini, meskipun pencemar terbesar di dunia berjanji untuk membawa emisinya ke puncak sebelum 2030, dan membuat negara itu netral karbon pada tahun 2060.
Ini menunjukkan bahwa China lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada pengurangan emisi. Meski demikian, beberapa analis mengatakan mereka masih optimis bahwa China akan mencapai target iklimnya.
“Ada keinginan dalam sistem politik dan ekonomi China untuk terus membangun, untuk melanjutkan demam infrastruktur,” ujar Li Shuo, (22/08).
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyebut laporan yang dirilis Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sangat mengkhawatirkan, dan sebagai “kode merah untuk kemanusiaan.” Karena menyimpulkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia adalah kenyataan yang “tegas” .
Selain itu, China juga merupakan pemimpin dunia dalam pembangkit listrik berbahan bakar batubara, di mana mereka membangun lebih dari tiga kali lipat kapasitas PLTU gabungan semua negara di dunia pada tahun 2020.
Lembaga Think-tank Carbon Tracker, dalam laporannya yang diterbitkan Juni 2021 mengatakan, China tidak sendirian dalam ketergantungannya pada batubara, melainkan ada empat negara lainnya yakni India, Indonesia, Jepang, dan Vietnam, yang menyumbang lebih dari 80% PLTU yang direncanakan di seluruh dunia.
“Tapi itu tidak semua berita buruk. China telah berjanji untuk mengurangi intensitas energinya diukur dengan membandingkan total energi yang dikonsumsi dengan PDB dan intensitas karbon dioksida yang dihasilkan per dolar dari PDB pada tahun 2025,” katanya.
Presiden China, Xi Jinping mengungkapkan negaranya akan mengurangi penggunaan batubara mulai tahun 2026.
Menurut, Kepala Badan Amal Hukum Lingkungan ClientEarth China, Dimitri de Boer, ada tarik menarik yang sedang berlangsung antara pemerintah pusat dan beberapa provinsi di China.
“Proyek-proyek baru dengan emisi tinggi harus dikontrol dengan ketat,” tuturnya.
Ia menjelaskan meski diperumit oleh adanya tekanan ekonomi dari pandemi COVID-19 dan ketegangan geopolitik, dia optimis bahwa China akan mencapai target intensitas emisinya untuk tahun 2025, dan tujuannya untuk mencapai puncak emisi karbon sebelum tahun 2030.
“Terlepas dari pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar batubara, China adalah pemimpin energi terbarukan, dan menyumbang sekitar 50% dari pertumbuhan dunia dalam kapasitas energi terbarukan pada tahun 2020,” jelasnya.
Sementara, Direktur Studi Keuangan Energi untuk Australia dan Asia Selatan di Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Tim Buckley, mengatakan, negara terpadat di dunia ini juga unggul dalam teknologi hijau utama seperti kendaraan listrik, baterai dan tenaga surya.
“Mereka adalah nomor 1 (satu) dalam pengembangan teknologi di industri nol emisi,” jelas Tim Buckley.
Tak hanya itu, laporan CREA dan GEM menyebutkan bahwa pertumbuhan emisi karbon dioksida China melambat pada kuartal kedua tahun 2021.
Analis Utama CREA ,Lauri Myllyvirta, mengatakan bahwa pertumbuhan emisi yang cepat terlihat sejak akhir penguncian COVID-19 pada awal 2020 dapat segera berakhir.
“Saya pikir sudah jelas bahwa sudah ada pergeseran dari ekspansi yang tak terkendali dari semua jenis industri dan konstruksi yang telah kita lihat selama setahun terakhir dan sedikit mencoba untuk setidaknya memoderasi kecepatannya,” ungkap Lauri Myllyvirta.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa proyek yang baru diumumkan akan penting untuk diperhatikan.
“Ini yang akan menguji apakah masih dapat diterima untuk terus membangun hal-hal ini,” tutupnya.