Jakarta,ruangenergi.com-Cost recovery di dalam industri hulu migas di Indonesia digunakan untuk risk sharing (berbagi resiko). Hanya saja,kalau birokrasi semakin rumit dan banyak aturannya yang berubah-ubah serta tidak ada koordinasi antar instansi,maka itu cost yang harus ditanggung dan bisa di cost recover.
Tidak ada company yang ada di industri hulu migas,mau cost-nya tinggi. Akan tetapi, karena birokrasi menyebabkan meningkatnya cost tinggi dan cost recovery merupakan salah satu tools untuk membuat lebih efficiency. Itu terjadi karena kalau semakin rumit, cost-nya tinggi dan cost recovery pun jadi tinggi
“Artinya kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) lebih nyaman kalau cost rendah. Dan akan selalu berusaha agar costnya rendah,” kata praktisi migas Tumbur Parlindungan kepada ruangenergi.com,Sabtu (21/08/2021) di Jakarta.
Bagaimana dengan PT Pertamina (Persero)? Nah dalam pandangan Tumbur, Pertamina juga lebih nyaman dengan cost recovery.
“Nah artinya ke depan gross split tidak nyaman bagi BUMN Energi dan KKKS. Kalau gross split mau jalan itu harus dibuat aturan-aturan menjadi compliance. Bukan minta ijin seperti sekarang ini… ditambah dengan contract sanctity... kepastian hukum.Artinya perlu pembenahan dari sisi regulasinya biar investor nyaman. Regulasi dan birokrasi yang lebih ramping dan investor friendly. Kalau tidak nyaman… investor tidak datang…” cetus Tumbur mengingatkan.
Dalam catatan ruangenergi.com,Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, kebijakan pemerintah yang kembali memberlakukan fleksibilitas kontrak migas bertujuan untuk memastikan kemudahan bagi investor di sektor hulu migas.
Sebagai pengingat, kontraktor migas diperbolehkan lagi memakai kontrak bagi hasil cost recovery. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM No. 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.