Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com— Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Djoko Siswanto menegaskan perlunya peningkatan anggaran eksplorasi migas nasional untuk mendorong peningkatan lifting dan kemandirian energi Indonesia. Hal itu disampaikan Djoko dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (12/11/2025).
Djoko menyampaikan bahwa saat ini masih terdapat banyak cekungan potensial di Indonesia yang belum tersentuh kegiatan eksplorasi maupun pemboran. Namun, keterbatasan fiskal dan minimnya dukungan pembiayaan menjadi hambatan utama dalam upaya peningkatan produksi migas nasional.
“Kendalanya adalah anggaran. Tidak satu pun bank dalam negeri yang mau membiayai kegiatan eksplorasi karena risikonya besar,” ujar Djoko di hadapan anggota Komisi VII.
Ia menjelaskan, anggaran eksplorasi saat ini hanya sekitar US$1 miliar, jumlah yang dinilai belum memadai untuk mempercepat penemuan cadangan migas baru. Padahal, probabilitas keberhasilan eksplorasi di Indonesia telah meningkat signifikan.
“Kalau dulu indeksnya satu banding sepuluh, sekarang sudah mencapai 30 persen. Artinya dari 10 sumur eksplorasi, tiga di antaranya berpotensi menghasilkan temuan migas,” tambahnya.
Djoko menegaskan bahwa SKK Migas bersama Kementerian ESDM telah berupaya memperbaiki fiskal terms dan mempercepat proses perizinan bagi kegiatan hulu migas. Selain itu, SKK Migas juga mendorong adanya kebijakan khusus agar sebagian penerimaan migas dapat dialokasikan kembali untuk kegiatan eksplorasi, sebagaimana yang diterapkan di negara lain.
“Kami belajar dari Inggris dan Malaysia. Di sana, sebagian pendapatan migas digunakan kembali untuk eksplorasi. Hasilnya, Inggris menemukan ladang gas besar di North Sea, sementara Petronas juga mampu memperkuat cadangan migasnya,” ujar Djoko mencontohkan.
Lebih lanjut, Djoko mengingatkan bahwa Indonesia pernah mencapai masa kejayaan migas pada era 1970-an hingga 1990-an dengan produksi sekitar 1,6–1,7 juta barel per hari, sementara konsumsi dalam negeri hanya sekitar 600 ribu barel per hari. Saat itu, Indonesia bahkan sempat tergabung dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Namun, kini kondisi berbalik. Produksi migas terus menurun, sementara impor minyak mentah, LPG, dan bensin terus meningkat. Saat ini, impor LPG telah mencapai sekitar 80% kebutuhan nasional.
“Kita harus meningkatkan produksi migas agar tidak semakin bergantung pada impor,” tegas Djoko.
Meski demikian, Djoko menyambut baik langkah pemerintah untuk mengurangi ketergantungan energi fosil melalui pengembangan energi terbarukan. Ia menyebutkan, program B30 dan B35 telah membantu menekan impor solar, sementara ke depan akan dikembangkan bioetanol, biofuel, kendaraan listrik, dan hidrogen.
“Pak Menteri sudah menyampaikan bahwa ke depan kita akan masuk ke era bioetanol, biofuel, kendaraan listrik, dan hidrogen. Ini menjadi bagian penting dari transisi energi nasional,” ujarnya.
Djoko menutup paparannya dengan menegaskan komitmen SKK Migas untuk terus mempercepat peningkatan produksi migas nasional melalui efisiensi fiskal, percepatan perizinan, dan penguatan investasi eksplorasi.













