Jakarta, Ruangenergi.com – PT Adaro Energy Tbk (Adaro) mengumumkan kinerja keuangan yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2020 lalu, dengan pencapaian EBITDA operasional sebesar US$ 883 juta, atau lebih tinggi daripada panduan EBITDA operasionalnya yang telah direvisi menjadi US$ 600 – US$ 800 juta, dan menjaga likuiditas yang solid.
Presiden Direktur dan Chief Executive Officer AE, Garibaldi Thohir, mengatakan, Adaro terus berfokus pada efisiensi dan keunggulan operasional di tengah tantangan industri yang disebabkan oleh permintaan batubara dan harga batubara yang lemah akibat Pandemi Covid-19.
“Kinerja kami mencerminkan resiliensi model bisnis yang terintegrasi, berkat fokus pada efisiensi dan keunggulan operasional di seluruh lini bisnis. Walaupun harus menghadapi banyak tantangan, dari pandemi global sampai cuaca yang tidak mendukung, kami mampu memenuhi panduan produksi batubara dan EBITDA operasional yang telah direvisi,” jelas Boy Thohir sapaan akrabnya, dalam keterangan tertulisnya, (04/03).
Walaupun pihaknya telah memperkirakan bahwa pemulihan ekonomi global akan membawa dampak positif terhadap industri, akan tetapi Adaro tetap berhati-hati di tengah ketidakpastian yang ada.
“Kami tetap berfokus untuk meningkatkan keunggulan operasional, pengendalian biaya, dan efisiensi, serta melanjutkan eksekusi terhadap strategi demi kelangsungan bisnis,” terangnya.
Ia melanjutkan, belanja modal bersih selama FY20 mencapai US$ 169 juta, atau sedikit di bawah panduan belanja modal yang telah direvisi menjadi US$ 200 – US$ 300 juta.
Selain itu, lanjutnya, Adaro menghasilkan arus kas bebas yang solid sebesar US$ 630 juta pada tahun 2020. Posisi keuangan tetap sehat dengan rasio utang bersih terhadap EBITDA operasional 12 bulan terakhir sebesar 0,19x dan rasio utang bersih terhadap ekuitas sebesar 0,04x.
Sementara, Boy mengatakan, laba inti Perseroan mengalami penurunan sebesar 36% yakni menjadi US$ 405 juta dari US$ 635 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Adaro juga membukukan pendapatan usaha sebesar US$ 2.535 juta pada tahun 2020, atau turun 27% dari tahun 2019, terutama karena penurunan 18% pada harga jual rata-rata (ASP) dan penurunan 9% pada volume penjualan.
Pihaknya mencatat penurunan 6% pada volume produksi menjadi 54,53 juta ton, atau sedikit lebih tinggi daripada panduan tahun 2020 yang telah direvisi menjadi 52-54 juta ton. Kondisi makro dan industri yang sulit akibat Pandemi Covid-19 memberikan tekanan yang besar terhadap permintaan batubara dan harga batubara global pada tahun 2020.
Walaupun pemulihan ekonomi diperkirakan akan berdampak positif terhadap batubara, Adaro terus berfokus pada keunggulan operasional dan langkah-langkah efisiensi, dan tetap berhati-hati karena masih adanya faktor ketidakpastian.
“Pada tahun 2020, beban pendapatan turun 21% y-o-y menjadi US$ 1.958 juta, sebagai hasil penurunan nisbah kupas maupun harga bahan bakar. Nisbah kupas tahun ini mencapai 3,84x, di bawah panduan yang ditetapkan sebesar 4,3x, karena kondisi cuaca yang tidak mendukung di hampir sepanjang 2020,” imbuhnya.
kemudian, biaya kas batubara per ton (tidak termasuk royalti) turun sekitar 21% y-o-y karena Perusahaan mencatat nisbah kupas dan biaya bahan bakar yang lebih rendah secara y-o-y. Sebagaimana diketahui, total biaya bahan bakar turun 45% sejalan dengan penurunan biaya bahan bakar per liter dan penurunan konsumsi bahan bakar pada tahun 2020.
“Imbasnya royalti yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia turun 29% menjadi US$ 271 juta dan sejalan dengan penurunan pendapatan usaha FY2020,” tuturnya.
Sementara, untuk beban usaha mengalami penurunan sebesar 29% menjadi US$ 165 juta untuk FY20, dibandingkan dengan US$ 233 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya, terutama akibat penurunan 45% pada beban penjualan dan pemasaran dan penurunan 44% pada biaya profesional.
Selain itu, pihaknya mengungkapkan, laba inti Adaro tahun 2020 mencapai US$ 405 juta, atau turun 36% secara y-o-y akibat penurunan profitabilitas.
“Laba inti dihitung dengan tidak memasukkan komponen akuntansi non operasional setelah pajak, yang di antaranya terdiri dari amortisasi properti pertambangan, rugi penurunan nilai properti pertambangan, rugi derivatif instrumen keuangan, rugi penurunan nilai wajar investasi pada perusahaan patungan, penilaian pajak tahun sebelumnya, dan biaya dekomisioning,” tandasnya.