Dianggap Kurang, Ini Kata Energy Watch Terkait Penetapan Target Alokasi Subsidi Energi

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.comDirektur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga menilai bahwa penetapan target alokasi subsidi energi dari Pemerintah untuk tahun 2024 ini dianggap masih kurang.

“Kalau kita lihat mekanisme pemberian subidi saat ini, serta jumlahnya tidak akan pernah cukup. Apalagi untuk mengomentari bagaimana ketepatan dan sasaran subsidi yang diberikan,” katanya pada Rabu (16/01/2024).

Daymas juga mengatakan dengan mekanisme yang ada saat ini terlalu banyak bocoran serta juga penyimpangan dari subsidi yang diberikan. Baik itu untuk bahan bakar penugasan, dan gas elpiji 3kg yang memang sangat rawan.

Ia juga menyatakan hingga sampai saat ini pemerintah juga tidak memiliki regulasi pendukung. Yaitu, dalam hal untuk menentukan siapa yang berhak menerima bantuan subsidi.

“Disini PR pemerintah untuk lagi-lagi merevisi Perpres No. 191 Tahun 2014 dan Perpres No. 104 Tahun 2007. Ini memang menjadi landasan untuk penetapan harga,” kata Daymas.

“Jadi, ketepatan sasaran dari subsidi ini yang harus kita garis bawahi. Bagaimana pemerintah memiliki mekanisme, dan aturan pendukung siapa yang berhak akhirnya mendapatkan bahan bakar bersubsidi ini.” tambahnya.

Oleh karena itu, menurut Daymas, perlu adanya kemuktahiran data, dan pembatasan menggunakan data tersebut. Jadi, sudah diketahui per orang jumlah setiap bulan subsidi yang diberikan.

“Jadi, kita bisa mengukur berapa jumlah yang memang tepat, dan juga siapa orang yang layak untuk mendapatkan subsidi tersebut. Hal itu, juga jadi langkah selanjutnya yang dapat dilakukan pemerintah, baik itu sinkron data, maupun data dari bantuan sosial,” ujarnya.

Untuk diketahui, pemerintah menetapkan target alokasi subsidi energi sebesar Rp186,9 triliun pada tahun 2024. Alokasi tersebut terbagi menjadi dua sektor utama, yaitu subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan elpiji 3 kg.

Yaitu, sebesar Rp113,3 triliun, serta subsidi untuk sektor listrik sebesar Rp73,6 triliun. Langkah ini diambil sebagai upaya pencegahan terhadap potensi kenaikan harga bahan baku minyak mentah dan akomodasi peningkatan permintaan energi.