Jakarta, RuangEnergi.Com- Pemerintah terus mendorong percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Percepatan ini dilakukan agar target bauran energi 23 persen pada tahun 2025 tercapai.
Program Ditjen EBTKE yang akan dilakukan antara lain pengembangan pembangkit listrik EBT dan Bahan Bakar Nabati (BBN), pengembangan panasbumi melalui government drilling, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar, program PLTS Atap, dan program cofiring biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Untuk akselerasi EBT yang kami pikirkan sekarang adalah dampak dari Covid-19, di mana konsumsi energi terjadi kontraksi,” ungkap Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Senin (16/11).
Dalam paparannya lebih jauh Dadan menyampaikan program akselerasi EBT, yang pertama adalah subsitusi (percampuran). Contohnya cofiring PLTU batubara dicampur dengan pelet sampah. Kedua, pemanfaatan BBN dicampur dengan biodiesel. Dan strategi ketiga adalah konversi dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang kapasitasnya sekitar 2 gigawatt (GW) menjadi pembangkit EBT.
Untuk mendukung transisi energi, menurut dia, dibutuhkan peningkatan target pemanfaatan EBT sekitar 10-11 persen setiap tahunnya agar dapat tercapai 23 persen pada tahun 2025. Tentu, dengan beberapa asumsi khususnya peningkatan pengembangan PLTS karena proyeknya cukup banyak dikembangkan oleh stakeholder untuk pemanfaatan sendiri.
“Kami sedang menyiapkan Perpres dari harga pembangkit EBT. Kami akan dorong pengembangan pusat ekonomi baru, baik melalui PLTS ataupun panasbumi, kemudian PLTS skala besar dan cofiring,” ujar Dadan.
Selain itu, sesuai dengan persetujuan dari Komisi VII, Kementerian ESDM juga akan mengalokasikan anggaran pada Badan Geologi untuk peningkatan kualitas data dan informasi panasbumi melalui program eksplorasi panasbumi oleh Pemerintah. Dari program ini, ditargetkan adanya tambahan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) sebesar 1.446 MW pada tahun 2035 mendatang.
Lebih jauh Dadan menjelaskan bahwa Pemerintah telah melaksanakan beberapa strategi pengembangan EBT, yaitu melalui implementasi Peraturan Presiden tentang harga pembangkit tenaga listrik EBT, Renewable Energy Base Industry Development (REBID) melalui PLTA dan PLTP skala besar terintegrasi dengan industri, pengembangan PLTS Skala Besar dan PLTS Atap, Renewable Energy Base On Economic Development (REBED) untuk memacu perekonomian wilayah termasuk daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), pengembangan biomassa melalui kebun/hutan energi, limbah pertanian, sampah kota, penambahan/modernisasi jaringan transmisi, menjadikan NTT sebagai lumbung energi (PLTS), serta peningkatan kualitas data dan informasi panasbumi melalui program eksplorasi panasbumi oleh Pemerintah.
Dia mengakui bahwa capaian porsi EBT saat ini memang masih kecil dibandingkan besarnya potensi EBT di Indonesia, sehingga tantangan yang harus dihadapi kedepannya masih sangat berat. Meski demikian, Pemerintah tetap optimis mencapai target bauran EBT.
“Dari tahun 2015 sampai sekarang, angkanya masih sekitar 10,9 persen bauran EBT dalam energi primer nasional yang didominasi oleh tiga sumber yaitu biofuel, PLTA dan panasbumi. Secara rata-rata terjadi kenaikan cukup baik, memang kalau untuk mencapai 23 persen di tahun 2025 jadi tantangan yang cukup besar buat kami,” pungkas Dadan.