Jakarta, ruangenergi.com- Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana dalam konferensi pers secara virtual mengatakan, perlunya melakukan perubahan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang Pemanfaatan PLTS Atap dimaksudkan untuk memperbaiki pelaksanaan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2019.
Menurut Dadan, perlunya dilakukan perubahan pada peraturan ini ada beberapa alasan, diantaranya: jumlah penambahan kapasitas PLTS Atap belum sesuai dengan target yang diharapkan.
“Adanya pengaduan masyarakat terkait waktu pelayanan PLTS Atap yang tidak sesuai dengan Permen ESDM yang ada perbedaan harga dan standar kWh meter expor-impor; adanya gap informasi terkait PLTS Atap diantara PT PLN (Persero) di lapangan; dan masukan dari stakeholder untuk meningkatkan keekonomiannya”, kata Dadan Kusdiana, Jum’at(27/8/21).
Lebih lanjut Dadan mengungkapkan, sebagai upaya merespon dinamika yang ada sekaligus memfasilitasi masyarakat yang menginginkan untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan dan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca serta mendorong pengembangan PLTS Atap sebagai bagian mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025, Kementerian ESDM menginisiasi perubahan dan merancang Permen ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (Pemanfaatan PLTS Atap).
“Beberapa substansi pokok dari Permen ESDM Pemanfaatan PLTS Atap, antara lain yaitu:perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang Wilayah Usaha); ketentuan ekspor listrik ditingkatkan dari 65% menjadi 100%”, ungkapnya
“Pertimbangan kebijakan memutuskan nilai energi listrik yang diekspor oleh pelanggan PLTS Atap menjadi sebesar 100% nilai kWh Ekspor yang tercatat pada Meter kWh Ekspor-Impor dari semula hanya 65%, merupakan pemberian insentif yang lebih baik kepada masyarakat yang memasang PLTS Atap. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan energi terbarukan dan penurunan gas rumah kaca sebagaimana komitmen Presiden RI pada Paris Agreement” jelas Dadan
Sebagai informasi, Permen ESDM tentang Pemanfaatan PLTS Atap melarang pelanggan PLTS Atap memperjualbelikan tenaga listrik yang dihasilkan dari sistem PLTS Atap.
Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 GW pada tahun 2024/2025, memperkirakan hanya sekitar kurang lebih 1 juta pelanggan PLN yang memasang PLTS Atap dari total pelanggan PLN sebesar 78,6 juta pelanggan, atau hanya sekitar 1,3%.
Sementara itu, Dirjen Gatrik Rida Mulyana menambahkan, kajian yang dilakukan oleh Kementerian ESDM untuk pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GW hingga tahun 2024/2025 dengan nilai kWh ekspor sebesar 100% terhadap negara, akan berdampak positif pada hal-hal sebagai berikut: konsumsi batubara dapat berkurang sebesar 2,98 juta ton pertahun, dan pengurangan tersebut bisa menjadi tambahan ekspor; berpotensi menyerap tenaga kerja sebanyak 121.500 orang; berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp 45 – 63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04 – 4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor-impor; mendorong green product sektor jasa dan industri; dan berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,58 juta ton CO2e.
“Pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GW tersebut diperkirakan akan mengurangi pendapatan PT PLN (Persero) karena pelanggan PLTS Atap tidak lagi menggunakan listrik PLN 100%. Kajian yang dilakukan menunjukan bahwa terdapat potensi berkurangnya pendapatan PLN sebesar Rp 5,7 triliun/tahun yang terdiri dari 4,9 triliun/tahun adalah merupakan potensi kehilangan pendapatan PLN akibat adanya perubahan pemenuhan listrik pelanggan (± 4,58 GWh) – customer behavior, dan sebesar Rp 0,86 triliun/tahun merupakan potensi kerugian PLN akibat ekspor listrik PLTS Atap ke grid”, tutur Rida Mulyana
Namun,kata Rida, apabila memperhatikan biaya pemeliharaan yang harus ditanggung oleh PT PLN (Persero) dan komponen lainnya yang masuk dalam non-fuel cost (data BPP pembangkit PLN 2020) dimana persentasenya adalah 31% dari total pembentuk Biaya Pokok Penyediaan (BPP)
pembangkitan, maka kerugian real PLN hanya sebesar Rp 0,27 T. Adapun sisanya sebesar Rp 0,59 T adalah potensi kerugian apabila PLN tidak bisa menjual listrik tersebut kepada pelanggan lain.
Dengan semakin massifnya pemanfaatan PLTS Atap, PT PLN (Persero) dapat melakukan pengelolaan di sisi supply antara lain dengan melakukan pengaturan pola jam operasi pembangkit termal dan hydro; menyediakan reserve margin yang cukup, menyiapkan pembangkit load follower, dan baterai/storage untuk mengimbangi intermitensi PLTS Atap; melakukan pemantauan dan evaluasi produksi energi listrik dari PLTS Atap; digitalisasi pembangkit, digitalisasi dispatch, digitalisasi transmisi, dan distribusi, serta smart meter sehingga dapat mengelola fluktuasi daya dari PLTS Atap dengan lebih baik.
“Di sisi demand, berbagai pengelolaan yang dapat dilakukan antara lain penyediaan sistem billing tagihan pemakaian listrik untuk mengakomodasi konsumen menggunakan PLTS Atap; melakukan demand creation dengan program-program seperti electrifying lifestyle (migrasi ke kompor induksi, kendaraan listrik, smart home) dan electrifying agriculture (migrasi dari mesin bakar ke mesin listrik) serta gencar melakukan akuisisi pembangkit captive di pabrik-pabrik”tambahnya
Rida berharap, peluang perluasan bisnis juga dapat dilakukan oleh PLN untuk mampu menekan kerugian yang dialami, seperti:menyediakan jasa pemasangan dan pemeliharaan PLTS Atap dengan cicilan yang bundled dengan pembayaran tarif listrik kepada pelanggan.
“Bisa juga menawarkan listrik PLTS Atap kepada industri/komersial secara kontrak dengan tarif khusus untuk periode waktu tertentu; listrik dari PLTS Atap dijadikan bagian dari Renewable Energy Certificate (REC) atau tarif layanan khusus EBT yang ditawarkan kepada semua pelanggan, termasuk pemilik PLTU/PLTG/PLTGU; menjual nilai karbon dari pelanggan PLTS Atap selain pelanggan kategori industri dan bisnis”, pungkas Rida Mulyana