Jakarta, Ruangenergi.com – PT Pertamina (Persero) terus bergerak secara progresif dalam memproduksi energi besih dan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Perusahaan yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Timur 1A, Jakarta 10110, berkomitmen penuh mendukung program Pemerintah Indonesia dalam mencapai bauran energi. Namun, semakin besarnya tuntutan ESG (environment, social, governance) serta green financing yang mendorong percepatan transisi energi menuju EBT (energi baru terbarukan).
Di sisi lain, Climate transparency report menyebutkan emisi gas rumah kaca diperkirakan kembali meningkat di negara-negara anggota G20 seiring kondisi pandemi semakin mereda.
“Beberapa trend pada Sektor Oil and Gas serta Power mengalami akselerasi terutama untuk low carbon focus and policies dengan semakin besarnya tuntutan ESG serta green financing yang mendorong percepatan transisi energi menuju EBT ,” ujar Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati beberapa waktu lalu.
Dalam catatan ruangenergi.com, kriteria-kriteria ESG dan hubungannya yang erat dengan keberlangsungan perusahaan.
1. Kriteria Lingkungan (Environment)
Kriteria lingkungan pada ESG turut membahas mengenai penggunaan energi sebuah perusahaan, limbah, polusi, konservasi sumber daya alam, dan perilaku terhadap flora dan fauna.
Dengan menempatkan kriteria lingkungan dalam manajemen resiko perusahaan, tentunya akan meminimalisir resiko berpotensi hadir dari kriteria lingkungan tersebut. Kriteria ini juga bisa digunakan untuk melakukan evaluasi sebuah perusahaan dalam bagaimana entitas perusahaan terkait beroperasi.
Integrasi ESG dengan sebuah perusahaan pun harus selalu diiringi dengan komitmen dan implikasinya pada kebijakan perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan yang telah mengintegrasikan kriteria lingkungan pada perusahaannya dapat membuat atau merevisi regulasi dan kebijakan perusahaannya pada isu yang terkait. Penggunaan energi yang lebih terbarukan, efisiensi sumber daya alam, manajemen limbah dan pembuangan merupakan beberapa implikasi nyata hasil dari integrasi perusahaan pada kriteria lingkungan.
Tentunya, komitmen ini akan memberikan dampak positif–baik kepada perusahaan maupun kepada lingkungan. Dengan kondisi lingkungan yang baik dan mendukung, maka sebuah perusahaan pun akan mendapatkan keberlanjutan dalam operasi bisnisnya.
Dengan kata lain, melalui manajemen risiko yang baik maka performa financial perusahaan pun akan lebih mudah untuk tercapai.
2. Kriteria Sosial (Social)
Kriteria sosial dalam ESG lebih melihat hubungan sebuah perusahaan secara eksternal. Komunitas, masyarakat, pemasok, pembeli, media, dan entitas-entitas lain yang memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung adalah hal yang harus dikonsiderasikan melalui kriteria sosial ESG.
Hal ini disebabkan beberapa faktor dari kriteria sosial akan memberikan dampak pada performa finansial perusahaan.
Tentunya, siap atau tidak siapnya sebuah perusahaan dalam mengadaptasikan posisinya pada masalah sosial akan mempengaruhi citra sebuah perusahaan. Sehingga, memfokuskan dan mendalami isu-isu sosial menjadi resiko manajemen perusahaan merupakan konsiderasi yang harus diimplementasikan dalam kebijakan perusahaan.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan harus bergerak secara aktif untuk terus mendalami isu dan hak pekerjanya. Pertama, karena kesadaran akan hak pekerja adalah hal yang semakin mudah untuk diakses dan dipahami. Kedua, karena jika hak pekerja tidak dapat terpenuhi, kemungkinan tinggi masalah ini akan bermanifestasi untuk lebih besar dan merambat pada entitas-entitas sosial lain.
Sehingga, perusahaan harus menjadi aktor pertama dan terdepan untuk melihat kriteria sosial ESG untuk diimplementasikan dalam kebijakan perusahaan.
Serupa dengan kriteria lingkungan, apabila kriteria sosial dapat disingkapi dan dikelola dengan baik maka tentunya hal ini akan kembali ke performa finansial dan keberlanjutan sebuah perusahaan.
3. Kriteria Tata Kelola (Governance)
Kriteria governance atau tata kelola perusahaan memokuskan pada bagaimana sebuah perusahaan memiliki proses pengelolaan yang baik dan berkelanjutan pada bagian internalnya. Jika kriteria sosial memokuskan pada hubungan eksternal, maka kriteria governance melihat manajemen atau tata kelola sebuah perusahaan.
Kriteria ini membahas dan mencakup aktivitas perusahaan, tergantung aktivitas manajemen dan pemilik perusahaan. Sehingga hasil atau output yang dirancang seperti kebijakan perusahaan, standar perusahaan, budaya, penyingkapan informasi, proses audit dan kepatuhan merupakan hal-hal yang turut diperhatikan.
RJPP Pertamina dan 8 Insiatif
Dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) Pertamina telah menetapkan target EBT yang tahun 2035 porsinya mencapai 30 persen.
Pertamina, menurut Nicke, tetap melanjutkan langkahnya dalam pengembangan EBT dengan 8 inisiatif,yakni: Pertama, memanfaatkan potensi kelapa sawit yang besar untuk berinvestasi dalam Proyek Green Refinery di Plaju, Dumai dan Cilacap. Melalui proses terbaik, Pertamina menghasilkan Biodiesel 30 dan Green Diesel D-100 dengan bahan baku minyak sawit, minyak terbarukan lainnya, dan minyak jelantah.
Kedua, Pertamina juga mengembangkan proyek biomass menjadi biogas dan bioethanol di Sei Mangkei. Dengan potensi besar Mikroalga di perairan luas Indonesia dan mampu memproduksi Algae terbesar ke-3 di kawasan ekonomi Asia Pasifik, Pertamina akan menjadikan mikroalga sebagai bahan untuk memproduksi biofuel. Pertamina telah berhasil mengembangkan fasilitas 5000 liter microalga photobioreactor dan sedang berjalan untuk mencapai skala komersial budidaya dan produksi pada tahun 2025.
Ketiga, Pertamina telah mempelopori pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia dengan kapasitas total 1,8 Giga Watt (GW).
Keempat, Pertamina juga menjalankan inisiatif pemanfaatan green hydrogen dengan listrik di area geothermal yang total potensinya mencapai 8.600 KG per hari. Green Hydrogen akan dimulai di Pembangkit Geothermal Ulubelu untuk digunakan di pabrik Polypropylene Kilang Plaju.
Kelima, berkolaborasi dengan BUMN lain yaitu Inalum, Antam dan juga PLN untuk melakukan pengembangan ekosistem dari EV Baterai dalam IBH. Yang akan bergerak dari mining sampai recycling.
Keenam, Pertamina mengoptimalkan pemanfaatan gas untuk kebutuhan transportasi, rumah tangga, dan industri di seluruh Indonesia. Saat ini, Pertamina telah mengembangkan infrastruktur gas yang terintegrasi dengan Floating Storage Refinery Unit (FSRU) dan lebih dari 10.000 km pipa gas di Indonesia dan merupakan saluran pipa terpanjang di Asia Tenggara. Selain itu, Pertamina juga memperkuat gasifikasi di kilang dan pembangkit, termasuk regasifikasi di Cilacap, Terminal Teluk Lamong, LNG Badak, dan 52 pembangkit lainnya. Untuk mendukung pembangkit listrik PLN, perusahaan akan mengonversi pembangkit listrik yang masih menggunakan diesel beralih menjadi gas.
Ketujuh, untuk pembangkit listrik, Pertamina juga terus meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan melalui solar power plant di berbagai area operasi.
Kedelapan, untuk pendekatan inklusif Circular Carbon Economy, Pertamina akan mengaplikasikan Carbon, Capture, Use and Storage atau CCUS pada beberapa lapangan migas untuk meningkatkan produksi.