Disparitas Harga BBM Semakin Tinggi, Energy Watch: Pengesahan Regulasi Menjadi Pilihan Mendesak

Jakarta, ruangenergi.com – Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengakui disparitas harga pertalite dan pertamax membuka potensi terjadinya migrasi. Ada kemungkinan pengguna pertamax berganti menggunakan pertalite yang harganya lebih murah.

”Kemungkinan itu ada, tetapi jumlahnya saya kira tidak banyak,” ujar Tutuka dikutip pada Selasa (03/10/2023).

Pihaknya juga terus memantau pergerakan harga minyak mentah yang saat ini ada kecenderungan turun kembali. Berdasarkan data Trading Economics, harga minyak mentah jenis Brent tercatat 92,4 dollar AS per barel atau lebih rendah dibandingkan dengan kemarin yang sempat menyentuh 95 dollar AS per barel.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan akan berbicara dengan sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN guna membuat distribusi pertalite lebih tepat sasaran. Pasalnya, saat ini belum ada regulasi yang mengatur siapa saja yang berhak membeli pertalite.

Pada 2022, saat harga minyak mentah menembus lebih dari 100 dollar AS per barel, pemerintah menyampaikan bahwa distribusi pertalite, jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, tak tepat sasaran. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) 2020, pertalite lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan mampu.

Setelah kenaikan harga pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter pada 3 September 2022, pemerintah juga menyiapkan revisi Perpres No 191/2014. Namun, kemudian harga minyak mentah cenderung melandai hingga akhirnya kelanjutan revisi perpres menjadi tidak jelas.

Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga menilai bahwa, semakin tinggi disparitas antara harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi, maka kemungkinan masyarakat beralih semakin besar. Ia menambahkan, jika semakin banyak masyarakat yang menggunakan pertalite, akan semakin besar juga subsidi yang disalurkan oleh negara.

”(Migrasi) seperti ini tidak bisa dihindari mengingat perangkat regulasi yang mengatur siapa masyarakat yang berhak untuk membeli pertalite belum ada. Dengan demikian, semua kalangan masyarakat masih bisa membeli,” ujar Daymas melalui keterangan tertulis, dikutip pada Selasa (03/10/2023).

Oleh karena itu, pengesahan regulasi yang mengatur pembeli pertalite menjadi pilihan mendesak yang dapat segera dilakukan di tengah meningginya harga minyak mentah. Apabila tidak dilakukan, potensi ketidaktepatsasaran bisa terus terjadi saat harga minyak meninggi.

Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak kian mendesak diterbitkan. Apabila tidak dilakukan, potensi distribusi salah sasaran pertalite, bahan bakar minyak bersubsidi, kian membesar di tengah meningginya harga minyak mentah dunia.

Per 1 Oktober 2023, PT Pertamina (Persero) menaikkan harga sejumlah BBM nonsubsidi, termasuk pertamax. Harga pertamax naik dari Rp 13.300 per liter menjadi 14.000 per liter. Dengan harga baru tersebut, ada disparitas harga sebesar Rp 4.000 per liter dengan harga pertalite yang dijual seharga Rp 10.000 per liter.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *