Anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika

DPR Minta Pemerintah Diskusi Lebih Matang Mengenai Pajak Karbon

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah mengusulkan akan memberikan pajak (biaya) terhadap perusahaan yang mengeluarkan  atau menghasilkan emisi karbon dalam kegiatannya.

Usulan pajak karbon ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Di mana besaran tarif yang akan diberiakn pemerintah kepada perusahaan yangmenghasilkan emisi akrbon yakni sebesar Rp.75/kg (CO2e) atau satuan dihitung berdasarkan harga perdagangan karbon dari kegiatan Result Based Payment Reducing Emmision From Deforestation.

Adapun salah satu kegiatan yang menghasilkan emisi karbon yakni pada pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil.

Lantas bagaimana cara menghitung pajak karbon itu?

Anggota Komisi VII DPR, Kardaya Warnika, mengatakan pajak karbon itu adalah suatau kegiatan yang mengeluarkan karbonioksida (CO2), dan itu yang akan dipajaki (dikenakan pajak).

“Karbon itu utamanya CO2. Sekarang yang mengeluarkan CO2 itu kan merusak lingkungan, harus jelas dulu pemberlakukan pajak karbon oleh pemerintah tujuannya apa? Apakah tujuannya itu memberikan pinalti kepada yang menghasilkan CO2? Atau tujuannya itu untuk menarik uang?,” ungkap Kardaya saat dihubungi Ruangenergi.com, (08/09).

Ia mengungkapkan, kalau tujuannya itu untuk tidak mengeluarkan CO2 atau mengurangi emisi karbon, yang paling penting itu di hulunya harus ditekan. Seperti yang mengeluarkan karbon dari pembangkit listrik batubara haru menerapkan clean coal technology.

“Artinya emisi (CO2) yang keluar itu diserap lagi atau difilter lagi supaya keluarnya lebih clean. Jangan dibiarkan lalu di pajakin, itu tidak efektif,” paparnya.

Kemudian, ia juga mengatakan, kalau konteksnya yang mengeluarkan CO2 itu akan dikenakan pajak, artinya apakah manusia bernafas akan dikenakan pajak juga.

“Yang mengeluarkan CO2 tidak hanya alat-alat itu (pembangkit listrik, dan lainnya), melainkan manusia juga mengeluarkan CO2. Apakah hal itu akan dikenakan pajak juga?,” tuturnya.

Di hulu itu harus ditekan, bukan malahan dikenakan pajak.  Menurutnya akan percuma kalau hanya dikenakan pajak saja, sebab mereka akan tetap mengeluarkan karbon dan menimbulkan penyakit serta dapat merusak lingkungan.

“Menghitung CO2 yang dihasilkan dalam suatu kegiatan seperti di pembangkit listrik itu tidak gampang. Yang dikhawatirkan mengeluarkannya besar ngakunya kecil,” tegasnya.

Ia mencontohkan, sebuah mobil yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan dari kenalpotnya (pembuangan sisa pembakarannya) mengeluarkan CO2.

“Artinya mobil tersebut menggunakan BBM, lalu yang akan dikenakan pajak itu siapa, apakah penjual BBM atau pengguna BBM?,” imbuhnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, perihal pemberlakuan pajak karbon itu harus jelas, dipikirkan dengan masak-masak dan jangan memberatkan masyarakat.

“Kalau menurut saya pajak karbon itu harus dipikirkan yang matang, dan pemberlakuan pajak karbon itu harus melibatkan DPR selaku wakil rakyat untuk didiskusikan lebih matang. Mengapa begitu, karena kalau mau mengambil uang rakyat (pajak) itu harus melalui Undang-Undang, tidak bisa dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Peraturan Presiden,” tandasnya.