Jakarta, Ruangenergi.com – Komisi VII DPR-RI meminta pemerintah untuk lebih bekerja keras dalam meningkatkan lifting minyak dan gas bumi sebesar 703 ribu barel dan 1.036 ribu barel setara minyak per hari untuk tahun 2022. Pasalnya, dua blok Migas terbesar yang dimiliki oleh Indonesia mulai mengalami penurunan produksi.
Ketua Komisi VII, Sugeng Suparwoto, mengatakan, tentunya untuk mewujudkan itu semua butuh ekstra kerja keras. Mengingat dua blok besar yang dimiliki Indonesia masing-masing sudah mature.
“Menurut saya apa yang ditargetkan pemerintah dalam pidato presiden tentang RAPBN Tahun 2022 hal yang wajar. Meski pun membutuhkan ekstra kerja keras. Mengingat dua blok besar kita, yakni Blok Cepu dan Blok Rokan masing-masing sudah mature,” ujar Sugeng usai mengikuti rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Senayan, beberapa waktu lalu.
“Istilahnya di hulu sendiri sudah ada semacam natural decline kurang lebih sebesar 4-6%. Bagaimana kita mempertahankan itu saja sudah bagus, kalau kita bisa mempertahankan tidak turun secara alamiah,” tambahnya.
Ia menambahkan, Blok Cepu misalnya, telah ditemukan cadangan baru yang cukup signifikan, kurang lebih akan menambah cadangan sekitar 80 ribu barel per hari. Jika sebelumnya 990 ribu barel, maka dengan adanya cadangan baru di Cepu tersebut, akan bertambah menjadi satu juta lebih barel per hari.
Namun, lanjutnya, lagi-lagi jika cadangan tersebut diproduksi setiap hari rata-rata 200-220 ribu, maka tidak lama lagi akan turun juga atau decline.
“Jadi target pemerintah itu tidak muluk-muluk atau tidak di atas awang-awang, pasalnya, DPR dalam Pagu Indikatif kemarin sempat mematok lifting minyak sebesar 705 ribu barel, namun kemudian dikoreksi oleh pemerintah menjadi 703 ribu barel per hari. Saya kira tidak terlalu jauh. Kalau dikatakan optimis ya kita harus optimis,” ujar Sugeng.
Menurutnya yang menjadi masalah saat ini adalah bagaimana reserve atau cadangan itu yang harus terus-menerus ada. Maka cost recovery dinaikkan, dari tahun lalu di 2021 adalah US$ 8 miliar menjadi US$ 9 miliar.
“Dengan adanya cost recovery naik dan mudah-mudahan bisnis di Hulu semakin menarik, ditambah dengan harga minyak yang sudah bagus sekarang, sudah rata-rata US$ 70 per barel,” imbuhnya.
Khawatir Bebani Pertamina
Meski demikian, Sugeng mengungkapkan, jikalau harga minyak kian meningkat hingga akhir tahun, tentunya hal ini akan berdampak pada keuangan PT Pertamina (Persero).
“Ada satu yang kalau harga terus-menerus diatas US$ 70 per barel ini akan membebani Pertamina. Nah, inilah yang juga sedang kita carikan skema agar jangan sampai Pertamina rugi. Diperkirakan kalau harga terus menerus di atas US$ 70 per barel sampai akhir tahun, maka Pertamina bisa rugi Rp40 triliun,” paparnya.