Jakarta, Ruangenergi.com – Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas dan Panas Bumi Indonesia (APMI) sangat mendukung target Pemerintah dalam mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari (BOPD) dan produksi gas 12 BSCFD pada tahun 2030.
Wakil Humas Antar Lembaga APMI, Toto Loho, mengungkapkan permintaan rig pengeboran minyak dan gas bumi (migas) cukup antusias.
APMI sangat mengapresiasi pemerintah khususnya SKK Migas, karena menurut Tito, SKK Migas sangat intens mendorong APMI untuk terus agar para anggotanya bersiap dalam melakukan permintaan rig.
“Bahkan kita juga baru memberikan laporan kepada SKK Migas terhadap ketersediaan Rig untuk kesiapan di Blok Rokan secara keseluruhan,” terangnya saat dihubungi Ruangenergi.com, (30/06).
Ia mengungkapkan, dari jumlah keseluruhan lebih dari 100 anggota APMI, terdapat 37 perusahaan yang memiliki armada Rig signifikan baik offshore dan onshore. Di mana dari 37 perusahaan tersebut ada 151 armada Rig berbagai ukuran untuk work over, well service, yang dibutuhkan banyak di Blok Rokan nanti, sampai drilling sampai dengan offshore.
“Dari 151 armada Rig itu didapatkan ada 59 yang idle (sedang tidak bekerja), dari 59 ini ada yang hotstake (siap) dan coolstake (butuh 1-2 bulan untuk perbaikan persiapan untuk bekerja),” sambungnya.
Ia menambahkan, lalu ada 92 Rig (offshore dan onshore) yang on contract, jadi dari data APMI Database 4.0 menunjukkan terdapat 37 perusahaan, yang mana 92 sedang on contract dan 59 Rig sedang idle.
“Itu kita terus laporkan kepada SKK Migas dengan intens untuk kesiapan di Blok Rokan ini. Sebab sebentar lagi kan blok tersebut akan dialihkelola oleh Pertamina Group,” imbuhnya.
Ia menuturkan, bicara demand pasca pemerintah memutuskan untuk menargetkan lifting minyak 1 Juta BOPD di 2030, paling tidak semangat eforianya ada.
“Terlebih lagi saat ini kegiatan di hulu migas itu yang menjadi dominan dilakukan oleh Pertamina Group, tentunya mereka sejalan dengan rencana pemerintah. Jadi antusiasme itu ada, rencana kerja itu ada, rencana kerja tinggi lah,” paparnya.
Terkait dengan masalah pembiayaan, ia mengatakan, untuk pembiayaan eksplorasi itu masih bertahan. Menurutnya rencana kerja ada mungkin dibiayai dulu tahap awalnya, seperti halnya di Blok Rokan, Blok Mahakam dan yang lainnya, itu menjadi angin segar bagi dunia usaha.
“Sekarang pertanyaannya bagaimana kebugaran dengan pelaku usaha karena kan kemarin harga minyak sempat jatuh, tahun lalu di awal sempat terkendala adanya pandemi Covid-19, operasional terganggu , itu ujungnya makan biaya, tenaga dan sumber daya, khususnya keuangan,” terangnya.
“Tantangan berikutnya yakni bagaimana meningkatkan kebugaran pelaku usaha pemboran dalam mengantisipasinya,” paparnya.
Kondisi Pandemi Covid-19
Menurutnya, di tengah kondisi Pandemi Covid-19 yang belum berakhir ini, terkait permintaan komoditas, hal itu tidak berpengaruh, melainkan tergantung demand.
“Kalau komoditas itu (batubara, nikel, emas, timah), tidak berpengaruh sama Covid-19, karena tergantung permintaannya secara global ya karena harga komoditas,” imbuhnya.
Sementara itu, terkait aktivitas proyek pertambangan, pengeboran dan lain juga tidak berpengaruh terhadap Pandemi Covid-19. Akan tetapi yang sangat berpengaruh adalah pegawai
“Kalau ngerjain proyeknya bisa terkendala karena Covid-19, bisa membengkak biaya karena adanya Covid-19. Mengenai ramai apa enggak ramainya, dia nggak ngaruh langsung ya, kecuali permintaan dunia melemah akan energi dan lain sebagainya. Selama harga komoditasnya masih tinggi, enggak pengaruh,” tutupnya.