Defiyan Cori

Ekonom Konstitusi : PGN Rugi Karena Kesalahan Direksi dan Komisarisnya

Jakarta, Ruangenergi.com – Laba atau rugi dalam sebuah perusahaan merupakan hal yang wajar, kalau manajemen atau pengelola perusahaan itu dilakukan secara profesional, terencana, terarah dan terukur dengan menggunakan asumsi-asumsi ekonomi makro dan potensi keadaan keuangan korporasi.

Hal itu dikatakan oleh Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, dalam sebuah diskusi online yang digelar boleh Energy Watch bersama Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) dan Situs Energi bertemakan “PGN Rugi Salah Siapa?,” yang di siarkan melalui channel YouTube Ruang Energi, Jumat, (16/04).

“Menurut saya kerugian yang terjadi di PGN adalah kesalahan jajaran Direksi dan Komisaris PGN,” tuturnya secara virtual.

Pasalnya, dalam laporan keuangannya PT PGN Tbk mengalami kerugian di 2021 sebesar US$ 264 juta atau sekitar Rp 3.845 Triliun.

Meski begitu, lanjut Defiyan, bukan berarti kebijakan pemerintah tidak ada salahnya, akan tetapi dalam konteks kerugian ini yang salah yaitu PGN.

Semestinya pada tahun-tahun dahulu PGN sudah bisa menyampaikan ke Pemerintah beberapa hal terkait dengan kondisi identifikasi permasalahan PGN terhadap penugasan yang diberikan oleh Pemerintah terkait dengan kebijakan energi nasional.

“Kalau kita lihat alasan kerugian sengketa pajak PGN yang mana Mahkamah Agung menetapkan bahwa kerugian sengketa pajak hanya Rp 3,06 triliun, sementara kerugian PGN Rp 3,8 triliun, ada selisih 740 miliar. Seandainya tidak ada sengketa pajak, apakah PGN akan untung, belum tentu juga,” jelasnya.

Menurutnya, alasan sengketa pajak ini penyebab kerugian PGN tidak bisa diterima akal sehat. Sebab, PGN punya kesempatan untuk melakukan efisiensi terkait dengan pengelolaan manajemen di bidang gas.

Terlebih lagi harga gas relatif lebih murah dalam konteks di hulu dan hilir, karena ketersediaan dan pasokan gas relatif besar.

“Artinya kalau konteks pasar supply and demand wajar harga turun karena over supply, apalagi ada impor juga. Nah, yang harus dilakukan oleh PGN adalah mensiasati kemungkinan-kemungkinan yang jauh sebelum PGN menghadapi kerugian,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, karena kerugian PGN sudah mulai ada tanda-tandanya ketika terjadinya penurunan secara berkelanjutan kinerja PGN atas laba, dan beban terbesar terkait dengan rugi laba adalah beban operasional.

Jika bicara soal tiga kaki penjualan, rugi, laba dalam rumus akuntansi itu adalah Penjualan – Biaya-biaya – Laba.

“Yang di tengah itu (biaya-biaya) PGN boros. Nanti kita lihat kasusnya PLN menghadapi hal yang sama di hulu, di mana bahan baku di hulu itu, komponen pembentuk HPP di hulu juga sudah sangat besar dan dikuasai oleh pihak swasta. Tinggal ditengah ini kita lihat mana yang paling mumpuni antara PGN dan PLN dengan kondisi faktual yang sama. Ini terkait dengan internal perusahaan ya,” bebernya.

Revisi UU BUMN

Terkait dengan pemegang saham, ia meminta agar pemerintah untuk melakukan revisi Undang-Undang BUMN Nomor 19 tahun 2003 itu. Jika tidak maka kondisi BUMN akan memiliki beban yang besar dalam menjalani penugasan buang diberikan oleh Pemerintah.

“Tanpa ada revisi UU BUMN nomor 19 tahun 2003 maka kondisi BUMN kita sebagai perusahaan negara yang mendapatkan penugasan dan memberikan deviden dan lainnya, akan memiliki beban yang lebih besar porsinya jika dibandingkan dengan korporasi swasta,” ujar Defiyan.

Menurutnya, UU BUMN ini akan membuat beban-beban atau risiko manajemen pada dewan direksi atau komisaris menjadi lebih besar.

“Oleh karena itu, menurut saya kunci untuk menyelesaikan permasalahannya kinerja manajemen perusahaan BUMN adalah revisi UU BUMN yang mendesak,” ungkapnya tegas.

Ia mengatakan, kebijakan pemerintah lainnya terkait dengan Undang-Undang adalah UU nomor minyak dan gas bumi (migas), karena UU migas juga bermasalah.

“Jadi, ketika hitungan kami tahun 2019 mengajukan proposal ke pemerintah untuk menaikkan harga gas tidak dilakukan dan ini menjadi kenyataan. Kita menghitung dulu Rp 2,41 Triliun kerugian yang dihadapi PGN dan nyata lebih besar kerugian yang dihadapi oleh PGN,” bebernya.

Dikatakan olehnya, hal-hal strategis seperti tidak bisa dilakukan hanya dengan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) yang dilakukan oleh Menteri BUMN seorang diri.

Menurutnya, RUPS itu dalam konteks AD/RT dikorporasi swasta membicarakan hal-hal strategis dan juga support terhadap kebijakan yang harus dilakukan agar operasional perusahaan berjalan normal. Artinya tidak diganggu oleh hal-hal yang bukan berkaitan dengan core bisnisnya BUMN atau tendensi politik yang menggangu kinerja manajemen.

“Kalau RUPS hanya terdiri dari seorang individu pribadi, menurut saya RUPS ini tidak partisipatif atau acceptabilitasnya rendah, karena kewenangan mutlak ada pada Menteri BUMN,” katanya.

Like and Dislike akan lebih dominan dalam konteks pengelolaan BUMN kalau tidak ada revisi UU BUMN ini,” tandas Defiyan Cori.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *