Jakarta, Ruangenergi.com – Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas, Agus Budiyanto, mengungkapkan bahwa seiring dengan berkembangnya ekonomi di Indonesia dan juga industri, kebutuhan gas semakin meningkat.
“Pemanfaatan gas bumi yang ditemukan atau di eksplorasi oleh para KKKS yang dikoordinasikan oleh SKK Migas. Memang pada waktu itu banyak sekali gas yang di ekspor, baik secara langsung menggunakan pipa gas seperi gas yang diproduksi di Sumatera seperti Natuna banyak langsung di ekspor ke Singapura dan Malaysia sampai saat ini,” katanya, dalam Webinar bertajuk Arah Baru Industri Migas : Ketahanan Energi dengan memaksimalkan Pemanfaatan Natural Gas dan LNG, yang dilakukan secara hybird melalui Channel YouTube Ruang Energi, (22/09).
Kemudian, ia menyebutkan, gas yang di produksi di Kalimantan dan Papua, sebagian besar juga diekspor dijadikan Liquified Natural Gas (LNG) untuk memudahkan transportasi.
“Karena dulu memang kebutuhan gas dalam negeri tidak terlalu banyak, sehingga produksi gas yang ada itu di ekspor,” paparnya.
Meski demikian, seiring dengan perkembangan dan kebutuhan dalam negeri, gas yang di ekspor semakin lama semakin menurun. Akan tetapi penurunan ekspor gas tersebut diikuti dengan penurunan produksi LNG, seperti yang ada di Arun, yang dulu produksinya cukup besar sekarang menjadi produksinya receiving. Begitu pula yang terjadi di Bontang, yang dulu memiliki 8 train yang dapat memproduksi sebanyak 22 ton LNG, kini hanya tinggal 2 train yang beroperasi.
Dia memaparkan, produksi LNG cenderung menurun secara signifikan, hal tersebut akibat dari penurunan jumlah ekspor. Jika dilihat dari 2011 jumlah produksi LNG untuk ekspor lebih besar ketimbang domestik, di mana untuk ekspor sebesar 4,078 BBTUD, sementara untuk domestik hanya sekitar 3,267 BBTUD. Seiring perkembangan jumlah ekpor LNG yang dilakukan mengalami penurunan, di mana tercatat pada 2020 jumlah ekspor LNG sekitar 2,108.24 BBTUD sementara untuk keperluan domestik sebesar 3,592.82 BBTUD.
“Di domestik pembeli terbanyak gas itu adalah PT PLN (Persero), karena dulu PLN banyak menggunakan solar dan kini telah di konversi menggunakan gas,” imbuhnya.
Untuk LNG, lanjutnya, kedepan sedang ada proyek yang sedang dikembangkan yakni Abadi Masela. Karena kondisi Pandemi Covid-19, hal tersebut sedikit terhambat untuk kegiatan infrastrukturnya dan komersialnya.
Pihaknya mengungkapkan bahwa pasokan gas akan dapat memenuhi kebutuhan gas bumi di Indonesia hingga tahun 2030, bahkan terdapat potensi untuk kelebihan pasokan gas yang perlu dikomersilkan.
Selain itu, perubahan rencana pemanfaatan gas oleh PLN menyebabkan penyesuaian pemanfaatan gas bumi Indonesia.
“Pengembangan pabrik Petrokimia baru serta pembangunan proyek RDMP petrokimia akan menjadi faktor pendorong pemanfaatan gas bumi Indonesia Kedepan,” tutupnya.
Dalam sambutannya, Sekretaris SKK Migas, Taslim Yunus, mengungkapkan tantangannya investasi migas saat ini adalah tren investasi global semakin insentif ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Di mana pada masa transisi, konsumsi minyak Indonesia masih lebih besar dibanding dengan produksi.
“Ini salah satu tantangan kita bagaimana gas ini sebagai transisi energi fosil dari minyak ke EBT. Kita berharap gas ini secepatnya dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, sebab pemerintah sudah mencanangkan bahwa 2025 tidak ada lagi pembangkit listrik yang bersumber dari batubara dan mengalihkannya ke pembangkit listrik berbahan bakar gas,” paparnya.
Selanjutnya, Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan menyebabkan investasi terhambat. Pembiayaan global untuk investasi hulu migas semakin terbatas dan kompetensi (perusahaan hulu migas multinasional mulai mengalihkan investasi ke low carbon energy seperti Chevron, BP, Total, Shell).
Kemudian, indeks daya saing industri hulu Indonesia relatif rendah yaitu 2,4 atau dibawah rata-rata global sebesar 3,3 (Woodmac, 2020). SKK juga tengah berupaya meningkatkan indek daya saing sehingga dapat berkompetisi dengan negara-negara global dan regional terutama se-Asia Tenggara.
Selanjutnya, berbagai negara memberikan fasilitas fiskal untuk migas yang lebih menarik.
“Pemerintah juga sudah memberikan fasilitas kebijakan fiskal yang mampu menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia,” katanya.
Lebih jauh ia menjelaskan, pemerintah juga sudah menurunkan harga gas dengan harapan demand atau permintaan akan lebih meningkat.