Jakarta,ruangenergi.com-Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengungkapkan bahwa sampai saat ini belum ada yang memastikan dimetil ether (DME) lebih ekonomis dari liquified petroleum gas (LPG) mengingat investasinya sangat besar sekali. Kendala DME pastinya soal harga.
Kedua, perlu ada sosialisasi kepada masyarakat jika nanti sudah berjalan agar masyarakat bisa merasa aman dengan menggunakan LPG.
Ketiga, pastinya jika harga tinggi dan tidak sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat, maka pemerintah harus memberikan subsidi agar harga terjangkau.
“Jika program ini berjalan dengan baik,saya pastikan akan berdampak terhadap impor LPG kita. Apalagi saat ini 75% LPG yang beredar berasal dari impor. Dengan adanya program ini dimana kita melakukan hilirisasi terhadap batu bara adalah sangat baik. Batu bara dengan kalori rendah akhirnya bisa dioptimalkan dengan program DME ini,” kata Mamit dalam bincang santai bersama ruangenergi.com,Selasa (25/1/2022) di Jakarta.
Bagi Mamit, jika pemerintah tidak mengambil tindakan untuk memulai membangun pabrik DME, maka saya khawatir nantiDME ini tidak berjalan meskipun memang butuh inovasi kembali agar invetasi ini bisa lebih murah sehingga ke depan harga DME akan lebih murah jika dibandingkan dengan LPG.
“Jika nanti LPG ini masih jauh lebih mahal, saya kira ini akan sulit bagi masyarakat untuk beralih dari DME ke LPG,” tegas Mamit.
Sebenarnya,urai Mamit, selain DME, kita juga memiliki beberapa program yang bisa dioptimalkan untuk mengurangi impor LPG seperti program jaringan gas (Jargas) dan kompor induksi/kompor listrik. Jika ini bisa berjalan beriringan dengan DME, maka impor LPG akan semakin kecil. Hanya perlu insentif-insentif agar bisa diterima oleh masyarakat.