Jakarta, ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga mengatakan bahwa investasi panas bumi memiliki risiko ganda, yaitu saat masih di perut bumi dan saat dibawa ke permukaan. Investasi pun bersifat padat modal dengan disertai faktor risiko yang juga relatif tinggi. Sementara saat sudah berproduksi, harga jual yang sesuai harapan juga menantang.
”Selera pemerintah juga PLN, dalam mengelola potensi-potensi panas bumi ini menjadi faktor menentukan. Dengan kondisi oversupply (listrik), tentu harga (jual) juga menjadi tidak menarik, yang akhirnya juga menjadi beban,” katanya dalam keterangan tertulis pada Sabtu (04/11/2023).
Oleh sebab itu, tambah Daymas, solusi memang perlu dicari termasuk opsi-opsi adanya perubahan secara radikal, agar pembelian energi panas bumi atau energi terbarukan lainnya tidak bergantung pada PLN. Misalnya, PLN hanya fokus pada transmisi, sedangkan terkait jual-beli listrik dibuka ke swasta. Namun, hal itu memang perlu dikaji matang.
Pemerintah juga dinilai jangan sampai kembali keliru dalam memproyeksikan permintaan dan penawaran (supply-demand) kelistrikan, seperti program tambahan pembangkit sebesar 35.000 MW yang dimulai pada 2015 (supply tak diikuti demand). Ketepatan proyeksi supply-demand kelistrikan akan turut memengaruhi pengembangan energi terbarukan.
Sebelumnya, Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi panas bumi di Indonesia mencapai 24.000 megawatt (MW). Adapun kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) saat ini baru 2.373 MW.
Kendati demikian, Indonesia tetap merupakan negara dengan kapasitas terpasang PLTP terbesar di Asia dan terbesar kedua di dunia. Dari total sekitar 15.760 MW kapasitas terpasang PLTP di dunia, kontribusi Indonesia sebesar 14,5 persen, di bawah Amerika Serikat (AS) yang 23 persen. Sementara Filipina di posisi tiga dengan kontribusi 12,2 persen.
Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia hanya bertambah sekitar 407 MW, yakni dari 1.948 MW pada 2018 menjadi 2.355 MW pada 2022. Padahal, dalam target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kapasitas PLTP diharapkan mencapai 7.200 MW pada 2025.
Sementara itu, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), selama 2021-2030 ditargetkan ada penambahan kapasitas PLTP sebesar 3.355 MW. Dalam RUPTL itu terdapat sejumlah rencana pengembangan proyek PLTP, terutama di Sumatera, Jawa, serta beberapa di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Tambahan 407 MW pada kapasitas PLTP, dalam lima tahun terakhir, sebenarnya tak buruk, terlebih jika dibandingkan dengan beberapa jenis energi terbarukan lain. Namun, jika ditarik lebih panjang, pengembangan panas bumi terasa lambat. Sebab, Indonesia telah memiliki PLTP sejak 40 tahun lalu, yakni Kamojang di Jawa Barat, milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk atau PGE, yang berproduksi komersial dari 1983 hingga sekarang.
Sejumlah hambatan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia, antara lain, tingginya biaya eksplorasi lapangan panas bumi yang juga disertai risiko dalam mencapai keberhasilan. Artinya, modal yang diperlukan di awal begitu besar. Sementara itu, penjualan listrik juga bergantung kepada PLN sebagai offtaker (pembeli) tunggal.