Jakarta,ruangenergi.com-Butuh sosialisasi dari Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) jika ingin mengalihkan pemakaian bahan bakar minyak Premium ke Pertalite bahkan ke Pertamax.
Paling tidak, wacana penghapusan Premium dilakukan di 2022 dan Pertalite dilakukan sebaiknya dilakukan setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Itupun tergantung dari pemerintahan yang baru nanti.
Namun jika Indonesia tidak serius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada tahun 2030, maka kebijakan ini harus dilakukan secepatnya. Pertalite hanya bersifat sementara sebelum ke Pertamax.
Demikian dikemukakan Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan pada Jumat (24/12/2021) di Jakarta.
Mamit menuturkan juga,terkait dengan rencana penghapusan Premium,ini merupakan Langkah yang sudah tepat.
“Kita tahu bahwa saat ini kita dalam komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam perjanjian Paris yang sudah disepakati bersama. Sebagai salah satu bentuk implementasinya adalah diterbitkan Permen Kementerian Lingkungan Hidup No. 20 tahun 2017 yang mensyaratkan standar minimal RON 91 untuk produk gasoline dan CN 51 untuk produk gasoil sesuai dengan standar EURO 4. Dengan demikian, memang seharusnya Premium ini di hapuskan dalam peredarannya. Harapannya, ketika beralih ke bbm dengan RON tinggi maka akan sangat membantu dalam mengurangi polusi di Indonesia. Saat ini, jumlah negara yang menggunakan Premium juga sangat sedikit. Berdasarkan data Pertamina, saat ini hanya ada 7 negara yang menggunakan Premium yaitu Bangladesh, Kolombia, Mesir, Mongolia, Ukraina, Uzbekistan dan Indonesia. Jadi populasinya secara global juga sangat sedikit. Negara-negara maju sudah menggunakan BBM dengan minimal standar EURO 4,” kata Mamit.
Premium,lanjut Mamit, merupakan jenis bahan bakar tertentu (JBT) sesuai dengan Peraturan Presiden No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak sehingga pemerintah memberikan dana kompensasi karena perbedaan selisih harga tersebut. Dana kompensasi ini pastinya cukup memberatkan keuangan negara, meskipun saat ini konsumsi Premium terus menurun.
“Berdasarkan simulasi yang saya buat, selisih harga Premium dengan keekonomian saat ini jika kita menggunakan formula yang ditetapkan kita gunakan harga minyak 80$/bbl dan kurs 14.00 maka seharusnya harga Premium sudah berada di angka 8.900/ liter dimana harga sudah termasuk PPN 10%, PBBKB 5%, biaya distribusi 2% dari harga dasar. Sedangkan harga Premium saat ini hanya di 6.450 per liternya. Jadi ada selisih 2.450,” tutur Mamit.
Mamit menjelaskan,dari sisi Pertamina dengan dihapuskannya Premium maka akan sangat membantu dari sisi keuangan mereka. Karena Pertamina tidak harus terlebih dahulu menanggung beban biaya produksi Premium dimana biasanya pemberian dana kompensasi ini disesuaikan dengan kondisi keuangan negara. Ada sedikit ruang bagi Pertamina dalam mengelola keuangan mereka ketika premium di hapuskan.
“Saya kira ditengah konsumsi Premium yang saat ini sudah mulai berkurang maka saat ini adalah saat yang tepat. Masyarakat kita dengan program langit biru yang di jalankan oleh Pertamina sudah mulai paham akan manfaat dari penggunaan BBM dengan RON tinggi. Berbagai macam kehandalan yang didapatkan dengan menggunakan BBM RON tinggi seperti emisi buang yang lebih rendah karena pembakaran mesin menjadi sempurna, perawatan mesin menjadi lebih murah dan hemat karena tidak perlu sering ke bengkel, jarak tempuh menjadi lebih jauh sehingga sebenarnya lebih irit jika dibandingkan dengan premium. ProgRAM Pertashop yang sedang berjalan saat ini dengan OVOO yaitu One Village One Outlet dimana BBM yang dijual adalah RON 92 sebagai Langkah sosialisasi yang juga sangat tepat karena menyasar masyarakat pedesaan,” beber Mamit dengan semangat.
Bagi Mamit yang merupakan alumni Fakultas Teknik Perminyakan dari Universitas Trisakti, masyarakat saat ini juga sudah banyak yang beralih ke Pertalite yang RON sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan Premium tapi dari sisi harga juga masih cukup terjangkau. Meskipun sebenarnya, jika mengacu kepada harga keekonomian untuk Pertalite itu selisihi dengan Pertamax harganya hanya 100 rupiah perliter. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan harga minyak 80$/bbl dan kurs 14.000 seharusnya harga Pertamax adalah Rp 11.600 sedangkan Pertalite Rp 11.500. Nah ini sebenarnya juga menjadi permasalahan terutama bagi Pertamina. Saat ini mereka menanggung selisih yang cukup besar dari yang dijual kepada masyarakat.
“Saya kira yang perlu menjadi perhatian adalah stock BBM jenis lain. Masyarakat akan tenang jika kebutuhan akan BBM mereka terpenuhi. Pertamina harus memastikan bahwa tidak ada kelangkaan pasca Premium dihapuskan. Hal ini agar tidak menggangu roda perekonomian ketika ketersediaan BBM lain tidak ada. Pemerintah dan Pertamina masih punya waktu untuk terus melakuan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana ini,” pinta Mamit dengan tegas.
Mamit sadar bahwa yang namanya kebijakan kurang populis pastinya akan menimbulkan polemic di masyarakat, dan itu hal yang wajar. Tinggal bagaimana Pertamina dan Pemerintah konsisten dalam menjalankan kebijakan ini. Pemerintah pernah menghapuskan Premium di JAMALI dan tidak menimbulkan gejolak yang signifikan. Hanya saja ditengah jalan peraturan ini kembali di ubah karena berbagai macam pertimbangan.
Pemerintah dan Pertamina juga sudah mempersiapkan strategi dengan terus melakukan sosialisasi tentang Program Langit Biru dan manfaat dari BBM RON tinggi.Selain itu, pemerintah saat ini sedang memperiapkan Pertalite untuk mendapatkan kompensasi bagi Pertamina. Dengan demikian, Pertalite akan menjadi pengganti bagi Premium sebelum nanti akan dihilangkan juga sesuai dengan peraturan KLHK No 20/2017 tentang BBM yang memenuhi standar EURO 4.
“Saya kira kendala dilapangan harusnya tidak banyak ya. Pertamina selaku BUMN yang diberikan penugasan oleh pEMERINTAH maka akan senantiasa mengikuti apa yang diminta oleh Pemerintah. Ketika harus di hapus maka mereka tidak akan mengirimkan Premium ke SPBU-SPBU.Kendala yang pasti adalah terkait dengan nozzle bagi SPBU yang selama ini menjual Premium. Mereka harus merubah kembali tangki dan nozzle untuk diganti dengan BBM yang lain. Pastinya ada biaya tambahan bagi pemilik SPBU,” tutur Mamit.
Mamit menilai sejauh ini upaya tersebut sudah cukup berhasil. Hal ini bisa dilihat bahwa konsumsi BBM jenis Pertalite paling besar jika dibandingkan dengan bbm jenis yang lain. Program langit biru dan juga program harga Pertalite seharga Premium yang pernah dilakukan cukup sukses. Hal ini membuat masyarakat mempunyai pengalaman mengendarai kendaraan dengan bbm RON lebih tinggi dari Premium. Dan pengalaman tersebut menguntungkan sehingga mereka terus menggunakan Pertalite atau bahkan menggunakan Pertamax.
“Saya kira ini akan sangat membantu Pertamina jika premium jadi dihapuskan. Kita tahu bahwa pemerintah dalam membayar subsidi atau dana kompensasi itu disesuaikan dengan kondisi keuangan negara. Jadi waktunya yang tidak jelas membuat perseroan harus menanggung terlebih dahulu, padahal ada cost of money yang ditimbulkan akibat waktu pembayaran dari pemerintah yang tidak jelas ini.Selain itu, perseroan juga harus menerbitkan bond untuk mencari pendanaan. Jika ini dihapsuksn maka akan memberikan sedikit ruang bagi PLN dalam mengatur tata Kelola keuangan mereka,”pungkas Mamit.