Jakarta, Ruangenergi.com – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), DR. Agus Puji Prasetyono, menuturkan bahwa pemanfaatan limbah yang berasal dari pembakaran batubara alias Fly Ash and Bottom Ash (FABA) merupakan suatu langkah positif dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.
Terlebih lagi jika hal tersebut dilakukan oleh para UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
Hal itu disampaikan oleh Anggota DEN, Agus Puji, dalam sebuah diskusi online yang bertajuk “Optimalisasi Pemanfaatan FABA Sumber PLTU Untuk Kesejahteraan Masyarakat” yang digelar melalui channel YouTube Ruang Energi, Kamis, (14/04).
Ia menjelaskan, acara ini terlaksana terutama terdorong akibat semakin kuatnya perhatian duni terhadap isu lingkungan hidup dan pemanfaatan limbah melalui proses circular dan zero emission.
“Batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang keberadaannya cukup melimpah di Indonesia. Batubara juga memiliki manfaat sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang murah, handal, pasokan kontinyu, sehingga membuat banyak produsen memburu batubara ini untuk bahan baku pembangkit listrik,” katanya.
Ia mengungkapkan, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM, potensi tambang batubara yang tersimpan di Indonesia sebesar 161 miliar ton, di mana 53% diantaranya berada di Pulau Jawa dan 47% berada di Pulau Kalimantan.
“Sungguh sangat besar potensinya untuk pembangkit listrik. Selain itu, batubara juga memiliki manfaat lainnya yakni menjadi bahan bakar industri dalam bentuk cair, gas ataupun padat. Salah satunya peningkatan nilai tambah batubara menjadi Dymethyl Ether (DME), Polypropylene, dan lainnya yang banyak manfaatnya bagi kita,” ungkap Agus.
Ia melanjutkan, FABA merupakan limbah yang berasal dan dari proses pembakaran batubara yang banyak dijumpai di PLTU-PLTU.
“FABA sebelumnya terindentifikasi sebagai limbah berbahaya. Namun karena perkembangan teknologi dan perkembangan penelitian, maka limbah yang masuk dalam kategori berbahaya tersebut saat ini telah dimasukkan dalam golongan limbah yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku tertentu yang memiliki nilai tambah ekonomi yang tinggi,” paparnya.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 101 tahun 2014 menegaskan bahwa FABA sebagai limbah B3, maka dalam PP nomor 22 tahun 2021 berubah bahwa FABA bukan sebagai limbah B3, akan tetapi dapat mendorong pemanfaatan bahan baku industri untuk bahan baku pembuatan semen dan perumahan, pertanian yang dapat diolah oleh UMKM menjadi seperti paving block.
Ia mengatakan, dari uji karakteristik yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020 terhadap sisa pembakaran batubara pada PLTU menunjukkan bahwa FABA masih dibawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun.
“Hasil uji karakteristik tersebut menunjukkan bahwa FABA PLTU tidak mudah menyala dan meledak pada suhu 140 derajat Fahrenheit. Selain itu, tidak ditemukan hasil reaktif terhadap sianida dan sulfrida serta tidak ditemukan juga korosif pada FABA PLTU tersebut,” bebernya.
“Dengan begitu, hasil uji tersebut menunjukkan bahwa limbah FABA dari PLTU telah memenuhi karakteristik sebagai limbah yang tidak berbahaya dan beracun,” sambung Agus.
Lebih jauh ia menerangkan bahwa FABA memiliki peluang untuk memanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi. Pemanfaatan FABA sebagai road waste juga telah dimanfaatkan secara luas dari total abu batubara.
Dengan begitu banyak sekali manfaat untuk kehidupan masyarakat. Pasalnya, bahan baku FABA masih sangat luas karena RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) menegaskan bahwa hingga tahun 2050 pembangkit listrik yang berbahan baku batubara (PLTU) masih sangat besar, sehingga FABA akan terus jumpai dari hasil limbah pembakaran batubara tersebut.
“Batubara sebagai bahan baku memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga kita perlu mempersiapkan pengolahan sedemikian rupa sehingga tidak mencemari lingkungan,” terangnya.
Untuk mengolah dan memanfaatkan FABA perlu persiapan serius dan kompetensi, antara lain : Pertama kesiapan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memiliki jiwa enterpreneur, mental, kapasitas dan keterampilan tinggi.
Kedua, kesiapan infrastruktur dan harus memiliki modal bisnis yang kuat dan penerapan bisnis triple helix yang akan meningkatkan nilai tambah batubara.
Sehingga kebijakan strategis maupun yang bersifat teknis dapat kita lakukan dan kita buat lebih spesifik dan akuntabel dikemudian hari.