Jakarta,ruangenergi.com– Ternyata ada keterlibatan FBI sebagai pelopor bio diesel di Indonesia. FBI yang dimaksud adalah Forum Biodiesel Indonesia.
Melansir dari buku Biodiesel, Jejak Panjang Sebuah Perjuangan, terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM tahun 2021, dituliskan bahwa lahir di bulan Februari 2002, Forum Biodiesel Indonesia (FBI) mewadahi para peneliti, akademisi, pengusaha, pemerintah, dan pemerhati biodiesel.
Beberapa nama yang turut memprakarasai lahirnya FBI antara lain Tatang Hernas, Soni Solistia Wirawan, Iman K. Reksowardojo, dan Erliza Hambali. Tatang Hernas Soerawidjaja, dosen Fakultas Teknik Kimia ITB terpilih sebagai Ketua dan Bambang Tri Budiman seorang pengusaha pemilik perusahaan PT Energi Alternatif sebagai sekretaris, duet yang cukup serasi, akademisi bersanding dengan pengusaha.
Dalam perjalanan selanjutnya, FBI juga didukung oleh beberapa nama dari generasi muda pada saat itu yang telah menyelesaikan program doktornya seperti Dadan Kusdiana, Tirto Prakoso dan beberapa nama lainnya.
Dadan Kusdiana pertama kali bergabung dengan FBI diawali pada sebuah rapat yang membahas tentang biodiesel, dia bertemu dengan Soni Solistia Wirawan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Balai Rekayasa Design dan Sistem Teknologi-BPPT.
Perkenalan tersebut menghantarkannya ke FBI. Banyak yang menyebutkan bahwa Dadan Kusdiana merupakan Doktor Biodiesel Pertama di Indonesia. Tirto Prakoso bergabung dengan FBI, mengikuti jejak seniornya Tatang Hernas yang merupakan dosen dan seniornya di Teknik Kimia ITB. Juga ada Iman K. Reksowardojo, dosen Teknik Mesin ITB. Keakraban tiga sekawan ini walau mempunyai rentang usia yang berbeda namun tidak mengurangi saling mengisi dalam keilmuan dan diskusi bersama. “Trio Kwek-Kwek”, begitu mereka bertiga disebut oleh rekan-rekannya
Dalam perjalanannya, anggota FBI kompak mempromosikan biodiesel melalui presentasi di beberapa
institusi, Kementerian hingga di depan Komisi VII DPR RI, satu suara memberikan masukan dan usulan mendukung kemajuan kebijakan biodiesel. Berbagai tanggapan mereka dapatkan.
Dari yang skeptis, tak acuh maupun yang mulai memberi respon positif. FBI terus berkiprah dalam memajukan biodiesel, tetap bersemangat mempresentasikan, mempromosikan dan menyebarluaskan informasi terkait hasil pengujian penggunaan campuran biodiesel pada kendaraan berbahan bakar diesel.
Di jalanan, FBI memperkenalkan biodiesel dengan menggunakannya pada mobil pribadi dan menempelkan stiker bertuliskan “Kendaraan ini berbahan bakar biodiesel”. Mobilisasi Bandung-Jakarta yang cukup sering, ternyata membantu “Trio Kwek-Kwek” mengenalkan biodiesel bagi para pengendara kendaraan antar kota.
Sering kali di SPBU dan rest area sepanjang Bandung-Jakarta, ditanya oleh pengendara lain tentang apa itu biodiesel, apakah baik untuk kendaraan dan pertanyaan lanjutan lainnya. Semua pertanyaan tersebut dijawab dengan penjelasan yang rinci dan cukup dimengerti. Salah satu upaya menyebarkan informasi positif untuk biodiesel untuk kendaraan, suatu usaha yang berasal dari hati sebagai bentuk kepedulian untuk memajukan negeri.
Selain melakukan promosi, FBI juga mempersiapkan peta jalan (road map) komersialisasi biodiesel di Indonesia, dan menyusun standar biodiesel Indonesia. Pada tanggal 20 Juli 2004, FBI mengusulkan standar biodiesel Indonesia (FBI-S01-03) dan spesifikasi solar di Indonesia yang memungkinkan untuk pencampuran 10 persen biodiesel (FAME: Fatty Acid Methyl Ester).
Ini merupakan catatan pentingdalam perjalanan biodiesel secara nasional, merupakan cikal bakal lahirnya SNI Biodiesel. Peran FBI sangat nyata dalam membesarkan biodiesel.
Kedepannya anggota FBIyang tersebar di berbagai institusi, baik swasta maupun pemerintah, menjadi ujung tombak di unit kerjanya dalam memajukan biodiesel di Indonesia. FBI juga bisa dikatakan sebagai embrio dari Tim Nasional BBN, Komite Teknis Standar Bioenergi dan juga Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI)
Rudolf Diesel Pengguna Pertama Bio Diesel
Mungkin tidak banyak yang tahu kalau penggunaan biodiesel ini sudah dimulai oleh Rudolf Diesel ketika membuat mesin diesel pertamanya pada 1893. Ia mencoba berbagai alternatif bahan bakar untuk menggerakan mesin diesel ciptaannya, mulai dari coal dust sampai minyak nabati.
Di Indonesia, riset biodiesel berkembang sejak tahun 1990-an. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS), Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dapat dikatakan menjadi institusi awal yang meneliti biodiesel dari berbagai bahan baku.
Peneliti Indonesia melakukan riset untuk memproduksi biodiesel dari berbagai bahan baku seperti kelapa sawit, minyak jelantah, jarak pagar dan minyak nabati lainnya.
Riset yang dilakukan tidak hanya riset-riset dasar namun juga produksi skala pilot, hingga uji coba pada mesin. LEMIGAS, salah satu pusat riset di bawah Badan Litbang Kementerian ESDM merupakansalah satu pionir riset biodiesel di Indonesia yang telah mulai mengembangkan teknologi pembuatan biodiesel pada tahun 1994.
Tak hanya penelitian skala laboratorium, pada kurun tersebut, pernah ada road test besar-besaran yang
diistilahkan biodiesel dengan campuran 30%, hasil kerjasama antara Lemigas dan Pertamina.
Para peneliti LEMIGAS perintis riset biodiesel pada saat itu adalah antara lain Abdul Gaffar, Evita Legowo, Djoko Suronowidodo, Oberlin Sidjabat, dan Rahmat Yunus. Kemudian dilanjutkan road test dengan peneliti, Lutfi Aziz, Pallawagau La Puppung, Mardono, Chairil Anwar dan lainnya
Biodiesel yang diproduksi LEMIGAS saat itu, kemudian diuji coba pada kendaraan truk dan Isuzu Panther. Kendaraan diisi dengan campuran bahan bakar minyak solar 70% dan biodiesel 30%, sementara kendaraan truk lainnya diisi 100% solar sebagai pembanding uji coba. Dua jenis perlakuan itu juga dikenakan pada dua mobil Isuzu Panther.
Road test dilakukan dengan rute Jakarta-Bogor-Puncak yang ditempuh bolak-balik selama tiga bulan hingga mencapai jarak 20 ribu kilometer. Hasil pengujian tidak ditemukan adanya kerusakan mesin kendaraan uji yang menggunakan biodiesel tersebut. Namun demikian kendaraan dengan bahan bakar campuran 30% biodiesel membutuhkan konsumsi lebih banyak sekitar 5% dibandingkan dengan konsumsi kendaraan yang memakai bahan bakar minyak solar. Hal ini disebabkan nilai kalor biodiesel lebih rendah daripada minyak solar
Di akhir tahun 2000, LEMIGAS merancang mesin pengolah biodiesel dengan kapasitas produksi sebanyak 200 liter biodiesel per batch. Mesin ini rampung pada Februari 2001. Proyek penelitian yang dibiayai Pertamina itu tidak berlanjut dan untuk pengembangan selanjutnya langsung dibiayai oleh Kementerian ESDM.
Pengembangan produksi biodiesel dalam skala besar dilanjutkan pada tahun 2008 dengan membangun pilot plant dengan kapasitas 8 ton per hari.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) merupakan salah satu pusat penelitian di bawah koordinasi
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), yang menurut sejarahnya merupakan institusi penelitian dan pengembangan perkebunan hasil nasionalisasi dari Belanda pada tahun 1957.
Penelitian dan pengembangan biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit (CPO) telah dilakukan oleh PPKS sejak tahun 1992. Pada tahun 2006, PPKS telah menguasai teknologi proses pengembangan biodiesel dari CPO, dan PPKS juga telah membangun pilot plant dengan kapasitas 1 ton per hari sebagai sarana penelitian. Riset biodiesel di PPKS dipelopori oleh Darnoko, Purboyo, Tri Haryati, Jenny Elisabeth, Cahyono Herawan, Eka Nuryanto, Donald Siahaan dan beberapa peneliti lainnya.
Penelitian biodiesel dilakukan pada berbagai kondisi proses, jenis proses, bahan baku, dan bahan pendukung. Di PPKS, bahan baku biodiesel yang diteliti semuanya berasal dari produk kelapa sawit, seperti CPO, RBDPO, olein, stearin, dan PFAD dalam berbagai kondisi dan kualitas.
Bahan baku utama lainnya adalah alkohol yaitu metanol dan etanol. Sementara bahan pendukung yang digunakan meliputi katalis asam, katalis basa atau tanpa katalis. Kondisi proses yang diteliti meliputi variasi suhu, waktu, dan tekanan. Jenis proses yang dilakukan meliputi proses batch dan kontinu. Pilot plant untuk proses batch memiliki kapasitas 1 ton per hari, sedangkan untuk proses kontinu 30 liter per jam.
Kapasitas yang cukup besar untuk skala riset. Metode yang serupa dengan yang dilakukan LEMIGAS, PPKS sudah sampai pada proses selanjutnya, yakni separasi membran dari senyawa minor yang terkandung dalam minyak sawit, seperti beta-carotene. Penelitian PPKS menunjukkan hasil dari satu ton CPO bisa
ihasilkan 85% biodiesel dan 0,5 kilogram beta-carotene.
Uji Coba Sejak 2001
Biodiesel produksi PPKS telah diuji coba sejak tahun 2001 untuk mesin-mesin pertanian dan kendaraan transportasi. Terobosan besar dilakukan PPKS dengan menggelar seminar internasional biodiesel bertajuk “International Workshop Enhancing Biodiesel Development and Use” di Medan pada tahun 2001 yang dihadiri Pemerintah dan pakar biodiesel dari berbagai belahan dunia
Selanjutnya, pada akhir tahun 2004 PPKS melakukan road test Biodiesel Minyak Sawit (BMS) B10, yang merupakan campuran 10 persen BMS dan 90 persen BMS, dengan rute Medan-Jakarta pada kendaraan truk dan mobil.
Ide awal riset biodiesel dimulai ketika tahun 2000-an BPPT akan merealisasikan pabrik kelapa sawit menjawab bisnis kelapa sawit yang tengah terpuruk. Produksi melimpah, sementara pabriknya kurang. BPPT pun menyiapkan pabrik kelapa sawit mini di Kampar dengan kapasitas 2 ton.
Pada saat membangun pabrik kelapa sawit tersebut, tim BPPT menyadari dengan potensi kebun kelapa sawit yang luas dan produksi melimpah per harinya maka akan tetap terjadi over supply bila tidak dicari
penyerapan produksi yang lebih cepat.
Tim BPPT mulai mengembangkan biodiesel dengan bahan baku limbah cair kelapa sawit atau CPO pond, atau disebut juga CPO parit. Tantangan berikutnya muncul, CPO parit yang semula dibuang begitu saja menjadi bernilai, sehingga harga biodiesel dari CPO parit menjadi lebih mahal. Namun penelitian tetap berjalan, kapasitasnya ditambah hingga 150 liter. Standarnya waktu itu mengacu pada ASTM
6751, parameter yang diuji masih terbatas hanya beberapa parameter penting. Tahun 2003 dilakukan uji jalan Jakarta ke Pekanbaru dengan campuran biodiesel 30 persen, sekaligus sosialisasi ke pabrik kelapa sawit dan juga universitas.
Untuk pengujian pada mesin dilakukan di Balai Termodinamika Motor dan Propulsi (BTMP) yaitu pengujian performa dengan dengan bench test belum menggunakan chasis dynamometer pada tahun 2003. Road test dilakukan, tapi hanya sejauh 5.000 km, yang diuji hanya konsumsi bahan bakar dan emisi, untuk mengetahui apakah bahan bakar ini bisa digunakan pada kendaraan diesel atau tidak.
Hatta Rajasa Menyetir Sendiri Mobil Bio Diesel
Di tahun 2003, pilot plant biodiesel CPO parit dengan kapasitas 3 ton per hari didesain di Kawasan Riau, memanfaatkan CPO parit yang banyak terdapat di PTPN Riau. Road test dijajal di 2004 dengan jarak tempuh 20.000 km, chasis dynamometer, dan uji emisi. Rutenya dari Jakarta ke Cilegon kemudian ke Bali dan
pulang lagi hingga hingga tercapai 20.000 km. Dengan bekerjasama dengan Balitbang Provinsi Riau, pada 2005 plant mulai dibangun. CPO Parit menjadi bahan baku utama. Disitulah pembelajaran akan pentingnya kontinuitas bahan baku terjadi, selain ekonomis juga harus berkelanjutan.
Menristek/Kepala BPPT saat itu, Hatta Rajasa, meminta hasil riil dari penelitian yang telah dilakukan. Berbekal anggaran sekitar Rp 500 juta, dibangunlah pabrik biodiesel skala kontainer/trailer. Dengan pengalaman mendesain modularisasi, akhirnya pabrik biodiesel skala modular 20 feet tersebut berhasil dibangun dan
diangkut ke Kantor BPPT Pusat di Jalan Thamrin Jakarta.
Pada saat ulang tahun BPPT di tahun 2004, biodiesel mulai diakui. Di hadapan Hatta Rajasa, pabrik biodiesel diuji, hasilnya dicoba langsung pada kendaraan dan menunjukkan hasil sesuai ekspektasi. Sejak saat itu anggaran besar mulai dikucurkan pemerintah untuk penelitian biodiesel ini.
Pada peresmian pabrik biodiesel di Kampar, Riau, Menristek Hatta Rajasa didampingi Bupati Kampar menyetir sendiri kendaraan biodiesel dari pintu masuk ke pabrik yang berjarak 200 meter. Peristiwa ini seakan menjadi momentum penerimaan mobil biodiesel di masyarakat dengan banyaknya ekspos media.
Kendaraan biodiesel yang ditumpangi Hatta Rajasa dan Bupati Kampar tersebut merupakan mobil uji coba yang telah melakukan road test dari Jakarta ke Riau dan parameter uji lainnya. BPPT juga membangun pabrik 8 sampai 20 ton per hari di tempat lain.