Jakarta, Ruangenergi.com – Meningkatnya aktivitas masyarakat akibat mulai dilonggarkannya PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) diduga menjadi salah satu penyebab kelangkaan Bahan Bakar Minyak (Minyak) bersubsidi jenis Solar akhir-akhir ini.
Pasalnya, beberapa daerah di Sumatera hingga Jawa mengalami kelangkaan BBM Solar.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat dari data penyaluran selama Januari sampai Juni, konsumsi harian minyak solar rata-rata 35 ribu kl/ Angka ini meningkat menjadi 44 ribu kl per hari pada September setelah PPKM dilonggarkan.
Secara akumulatif serapan minyak solar bersubsidi sampai dengan Semester I 2021 sudah mencapai 7,26 juta kl atau setara dengan 45,9% dari kuota tahun ini sebesar 15,8 juta kl. Penyerapan solar bersubsidi periode ini lebih tinggi dibandingkan dengan penyerapan bensin RON 88 yang baru mencapai 2,34 juta kl atau sekitar 23,5% dari kuota premium tahun ini sebesar 10 juta kl.
Kelangkaan yang terjadi menyebabkan keluhan dari sejumlah masyarakat. Di Aceh, kelangkaan bahan bakar solar menimbulkan keluhan dari sopir angkutan umum dan nelayan. Di Jawa Tengah, sejumlah pengusaha truk mengeluhkan adanya pembatasan pembelian solar di sejumlah lokasi SPBU.
Adanya pembatasan tersebut menyebabkan adanya antrian di sejumlah SPBU. Antrian yang disebabkan karena kelangkaan bahan bakar solar berimbas terhadap pengiriman distribusi logistic.
Selain dialami oleh pengusaha angkutan, kelangkaan solar di Jawa Tengah juga menyebabkan sejumlah nelayan di Rembang harus menunggu hingga seminggu untuk dapat melaut karena adanya pembatasan solar.
Kelangkaan solar yang terjadi juga mengancam panen petani karena tidak dapat menjalankan mesin pompa air untuk mengairi sawahnya. Antrian pembelian solar juga terlihat di sejumlah SPBU di Sulawesi Selatan, khususnya Makasar. Sementara di Medan Sumatera Utara, kelangkaan bahan bakar minyak di sejumlah SPBU disebabkan karena adanya keterbatasan stok di depot Pertamina.
Keterbatasan stok ini disebabkan karena adanya keterlambatan kapal pengangkut tanker pembawa BBM dari Singapura akibat kendala cuaca. Selain itu untuk bahan bakar minyak RON 92 yang diimpor dari Singapura dan Malaysia juga mengalami antrean skala internasional.
Selain karena adanya pelonggaran PPKM, factor lain yang diduga mendorong tingginya konsumsi solar bersubsidi adalah semakin besarnya gap harga antara solar bersubsidi dengan solar yang digunakan di industry seiring dengan semakin meningkatnya harga minyak dunia.
Per September 2021 harga minyak solar non subsidi Pertamina mencapai Rp9.400 per liter sementara harga minyak solar bersubsidi masih sebesar Rp5.150 per liter. Tingginya gap harga ini diduga ikut mendorong sektor industry dan pertambangan untuk juga ikut mengkonsumsi minyak solar bersubsidi. Penyebab lainnya juga diketahui akibat adanya masalah cash flow di Pertamina.