Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai bahwa tinggi harga batubara tidak hanya dinikmati oleh pengusaha di sektor batubara saja. Melainkan, kata Mamit, pemerintah juga ikut merasakan yakni dengan meningkatnya devisa negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Minerba. Pasalnya, PNBP di sektor Minerba ini batubara menyumbang sekitar 40%.
Hal tersebut dikatakan oleh Mamit dalam tayangan CNBC Indonesia program Energy Corner “Ekspor Batu Bara Menggiurkan, Pasokan Dalam Negeri Aman?”, (18/10).
Meski begitu, di masa Pandemi Covid-19 ini, ia meminta pasokan Domestic Market Obligation (DMO) untuk tetap dijaga dan dipenuhi. Hal itu agar pemenuhan energi dalam negeri tidak mengalami kendala.
“Meningkatnya harga batubara ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah. Berdasarkan annual report semester I/2021, saya melihatnya bahwa hampir semua perusahaan batubara berdada dalam posisi yang cukup bagus. Dan saya kira hingga akhir tahun 2021 laporan keuangan emiten batubara tersebut akan berada dilevel positif,” papar Mamit.
Selain itu, dampak lain dari kenaikan harga batubara yakni industri penunjang angkutan batubara alat berat. Menurutnya, secara otomatis dengan adanya kenaikan harga batubara ini kegiatan pengangkutan batubara kian meningkat di tengah permintaan global yang semakin tinggi.
Secara otomatis pergerakan kapal tongkang ini akan mengalami kenaikan yang signifikan di tengah permintaan global terhadap batubara.
Dia khawatir para pengusaha berfikir untuk menjual sebesar-besarnya batubara ke luar, dan pasokan dalam negeri (DMO) akan mengalami gangguan. Hal tersebut karena disparitas harga batubara yang sangat tinggi.
“Ini yang saya khawatirkan, tetapi saya yakin para pengusaha batubara kita masih ada merah putih nya, pengusaha kita masih mau berkorban dan juga mementingkan pasokan DMO, karena saat ini listrik sudah menjadi kebutuhan primer,” ungkapnya.
“Saya kira ketergantungan terhadap DMO batubara untuk menunjang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PLN ini sebuah keharusan. Dan saya kira juga Pemerintah bersama para pengusaha batubara juga sudah menyetujuinya untuk tidak melakukan ekspor secara besar-besaran,” sambung dia.
Selain itu, Mamit meminta jika nantinya para pengusaha dalam melakukan diskusi dengan pemerintah untuk tidak meminta kenaikan harga yang sangat tinggi. Sebab hal itu nantinya akan memberatkan PLN selaku pembeli batubara untuk pembangkit listrik, dan nantinya juga akan berdampak kepada masyarakat, karena tarif listrik akan mengalami penyesuaian.
“Dengan adanya kenaikan DMO nantinya mereka (PLN) nantinya masyarakat akan sangat mengalami kenaikan tarif dasar listrik, ataupun negara akan terbebani untuk memberikan subsidi. Untuk itu, saya kira kita harus mencari win-win solution nya,” imbuhnya.
Sementara itu, secara bersamaan, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Batubara dan Energi Indonesia (Aspebindo), Anggawira, mengungkapkan bahwa penyebab dari berlangsung krisis energi sekaligus menopang lonjakan harga batubara.
Kondisi ini dimungkinkan menjadi salah satu penyebab dari banyaknya pemasok batubara yang memprioritaskan ekspor, akan tetapi aturan kewajiban DMO tidak menjadi penghambat kebutuhan dalam negeri.
Memang masalah disparitas harga batubara DMO yang di cap US$ 70 per ton ini menjadi salah satu tantangan para pengusaha dalam menyediakan pasokan untuk DMO.
“Ekosistem penambang besar ini kita atur sedemikian rupa untuk bisa menjamin kepastian supply batubara dalam negeri. Tak hanya penambang besar, melainkan penambang kecil juga mendapat kesempatan yang sama untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri,” tutupnya.