Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Pusat Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, mengatakan, tidak seharusnya pemerintah menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertamina di tengah harga minyak dunia yang terus mengalami kenaikan.
Apalagi kata Sofyano, jenis BBM seperti Pertalite, ataupun Pertamax Series bukanlah BBM Public Service Obligation (PSO).
“Jika koreksi harga tidak segera dilakukan, dikhawatirkan kerugian yang dialami Pertamina akan semakin tinggi. Apalagi BBM produk Pertamina Patra Niaga seperti Pertalite dan Pertamax series adalah BBM non PSO yang harusnya harganya bisa dikoreksi naik atau turun berdasarkan harga minyak dunia,” kata Sofyano kepada Ruangenergi.com, Selasa (24/8/2021).
“Hal ini sama saja dengan harga BBM non PSO Jenis HSD yang selama ini dijual Pertamina dan badan usaha niaga umum lainnya seperti AKR dan lain-lain ke Industri dan marines yang harganya dikoreksi setiap tanggal 1 dan 15 pada setiap bulan,” tambah Sofyano.
Pertamina Patra Niaga sebagai penyalur BBM di Indonesia sendiri, hingga saat ini belum juga menaikkan harga BBM yang dijual mereka. Padahal, sejak awal tahun 2021, penyalur BBM swasta seperti Shell, BP, Vivo, telah merevisi harga penjualan BBM mereka.
Padahal Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan aturan baru soal harga eceran hingga pendistribusian BBM. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 69 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
“Ironisnya, lagi-lagi terbitnya aturan ini tidak serta merta membuat pemerintah merestui kenaikan harga BBM Pertamina,” ujar Sofyano.
Seharusnya, kata dia, Kementerian ESDM konsisten mengawasi dan menegur jika ternyata ada Badan usaha yang Berbisnis BBM Non PSO ternyata tidak mengkoreksi harga jualnya secara berkala dan sebaiknya “tidak melarang” badan Usaha untuk mengkoreksi harga jual BBM Non PSOnya.
“Di sisi lain ada hal yang aneh, karena walau harga minyak dunia sudah lama naik namun harga BBM non PSO Pertamina Patra Niaga pada SPBU tak kunjung dinaikkan, padahal SPBU swasta sudah naik,” cetusnya.
Lebih jauh ia mengatakan, jika Patra Niaga tidak mengkoreksi harga jual BBM non PSO nya, maka Patra Niaga bisa berdarah-darah dan ini bisa menjadi beban berat.
“Apalagi penyediaan dan penjualan BBM sudah sepenuhnya jadi beban dan tanggung jawab Patra Niaga, sejak ditetapkan sebagai sub holding commersial dan trading, bukan lagi PT Pertamina,” tukasnya
Untuk itu, pihaknya meminta Pemerintah mendorong Pertamina Patra Niaga untuk selalu menyesuaikan harga jual BBM Non PSOnya secara berkala sesuai dengan harga pasar minyak dunia.
“Jika Patra Niaga sampai rugi besar karena tak koreksi harga jual BBMnya maka ini secara tak langsung bisa jadi ancaman bagi kelancaran distribusi BBM di negeri ini karena Patra Niaga telah ditetapkan sebagai sub holding yang melaksanakan penyediaan dan pendistribusian BBM di tanah air, bukan lagi BUMN PT Pertamina (Persero),” pungkasnya.
Seperti diketahui, trend harga minyak dunia terus mengalami kenaikan, khususnya sejak pandemi Covid-19 menyerang pada awal 2020 lalu. Pembatasan aktifitas yang memicu penurunan permintaan, kemudian disikapi oleh negara-negara produsen minyak (OPEC) dengan melakukan pengetatan pasokan.
Hal ini kemudian membuat trend harga minyak dunia terus mengalami peningkatan. Jika pada sekitaran Agustus 2020, harga minyak dunia masih berada di kisaran USD 42-45 per barel, maka di 2021 ini, nilainya sudah melonjak sangat signifikan.
Sebut saja harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) pada Juli 2021 rata-rata mencapai USD 72,17 per barel, naik USD 1,94 per barel dari USD 70,23 per barel pada Juni 2021.
Sementara itu, harga minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, pada Selasa (24/8/2021) pagi WIB tercatat melonjak USD3,57 atau 5,5 persen, menjadi USD68,75 per barel, setelah menyentuh level terendah sejak 21 Mei di USD64,60 selama sesi tersebut.
Adapun patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Oktober pada waktu yang sama juga melejit USD3,50 atau 5,6 persen, menjadi menetap di USD65,64 per barel.(SF)