Jakarta, Ruangenergi.com – Belum adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Pertamax 92 hingga saat ini akan berpengaruh signifikan terhadap biaya atau beban operasional PT Pertamina (Persero) yang berakibat pada kondisi aliran kas (cash flow) korporasi.
Menurut Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, dalam jangka pendek hal ini akan berpengaruh pada pembelian sumber bahan baku yang lebih mahal, karena harga jual ke konsumen tidak mengalami perubahan.
“Sementara dalam jangka panjang, implikasinya terkait dengan kebijakan subsidi energi dan transisi energi yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo,” kata Defiyan dalam pesan tertulisnya yang diterima Ruangenergi di Jakarta, Minggu (16/1/2022).
Menurut dia, kondisi ini juga akan menghambat aksi korporasi Pertamina dalam mencari sumber pembiayaan ekonomis dan membayar kewajiban kepada pihak ketiga serta melayani masyarakat konsumen sampai ke daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T).
“Tidak adanya penyesuaian harga BBM jenis Pertalite dan Pertamax RON 92 ini dipastikan bisa menjadi penyebab utama melorotnya kinerja PT. Pertamina (Persero),” ujarnya.
Kinerja ini, lanjut dia, akan semakin melorot jika pada tanggal 18 September 2021 Pertamina melalui PT. Pertamina Patra Niaga, atau Sub Holding Commercial & Trading tidak menaikkan dua produk BBM non subsidi yaitu Pertamax Turbo dan Pertamina Dex.
“Pertamax Turbo (RON 98) yang semula harganya Rp 9.850 per liter dinaikkan menjadi Rp 12.300 per liter, berarti terdapat perubahan sejumlah Rp 2.450 atau sebesar hampir 25%. Kenaikan harga juga diberlakukan kepada Pertamina Dex (CN 53) yang semula harganya Rp 10.200 per liter menjadi Rp 11.150 per liter atau mengalami perubahan harga sejumlah Rp 950 atau sebesar 9,3% saja,” paparnya.
Namun, untuk produk BBM jenis lain seperti Pertalite dan Pertamax RON 92 tidak mengalami perubahan, dan mengikuti ketentuan yang telah diberlakukan pada jenis BBM non subsidi tersebut, padahal konsumsi Pertalite mencapai 70 persen dari total jenis BBM yang diperjualbelikan.
“Sudah selayaknya Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah yang cepat, cermat dan tepat untuk melakukan penyesuaian harga dimaksud. Kenaikan harga BBM jenis Pertalite ini penting dalam kerangka mendukung mandat Presidensi G20 pada Presiden Joko Widodo dan komitmen COP26 untuk menyediakan energi bersih dan ramah lingkungan, dan Pertalite masih termasuk dalam jenis BBM yang tidak mendukungnya,” pungkasnya.
Sementara Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, meminta Pemerintah untuk tidak membiarkan Pertamina terus merugi dalam menjual BBM Pertalite dan Pertamax 92.
“Jangan membiarkan harga terus merugi, sementara regulator sendiri cuek dan tidak memberikan kompensasi kepada operator. Ini ngga fair! Pemerintah seharusnya tidak melakukan pembiaran Pertamina menjual rugi produknya, sementara SPBU swasta sudah menaikkan harga BBM-nya kepada konsumen,” papar Tulus.
Menurut dia, BUMN seperti Pertamina tidak boleh menjual rugi produknya atau menjual di bawah biaya pokok produksinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BUMN.
“Jadi kalau Pertamina menjual BBM non PSO seperti Pertalite dan Pertamax, berpotensi melanggar UU BUMN. Kalau tetap menjual rugi, maka harus dalam bentuk penugasan oleh regulator. Konsekwensinya regulator harus memberikan kompensasi pada operator Pertamina,” demikian Tulus Abadi.(Red)