Hilangkan BBM Premium dari Jamali, Pemerintah Harus Lakukan Ini

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, mengapresiasi kebijakan Pertamina yang menggulirkan program langit biru di sejumlah kota atau wilayah di tanah air, termasuk di Tangerang Selatan dengan menjual bahan bakar minyak (BBM) Pertalite setara harga BBM Premium.

“Tapi saya khawatir ketika nanti program ini selesai masyarakat akan kembali ke teori air atau kembali ke titik yang paling rendah, mereka akan memilih harga terendah atau produk apa yang tersedia di situ dengan harga lebih murah,” kata Komaidi pada sesi Dialog Publik bersama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Jumat (13/11/2020).

Menurut dia, jika sektor lingkungan yang harus dikedepankan maka kebijakan hulunya yang dalam konteks ini adalah pemerintah pusat harus dipegang. Misalnya, jika memang di wilayah Jamali (Jawa Madura Bali) harus tidak ada Premium lagi maka hal ini jangan diserahkan ke mekanisme bisnis atau ke Pertamina dan masyarakat, tetapi harus dengan mencabut Keppres 438/2018 (sebelumnya Keppres 191/2014-red).

“Karena di Keppres tersebut mandatori harus disediakan, dalam hal ini ada yang beli atau tidak Premium harus ada. Artinya Pertamina harus tetap menyediakannya atau melaksanakan, karena jika tidak Pertamina akan dianggap melanggar ketentuan yang ada,” paparnya.

“Dengan demikian, ketentuan tersebut harus segera disesuaikan jika tidak ingin Pertamina nanti disalahkan saat menghilangkan Premium dari wilayah Jamali,” tambah dia.

Komaidi menambahkan, pemerintah pusat memiliki fungsi yang besar dalam menyeimbangkan setiap aspek, baik lingkungan dan ekonomi.

“Dan menurut saya jika ingin menjadikan wilayah Jamali misalnya bebas dari BBM beroktan rendah yang tidak ramah lingkungan maka Keppres 438/2018 harus dicabut atau direvisi,” tukasnya.

Pemerintah, kata dia, juga tidak boleh membuat persoalan mengenai bahan bakar ramah lingkungan ini terus menjadi sebuah dilema. Apalagi pada 2014, pemerintah sempat menghapuskan eksistensi bensin premium di wilayah tersebut.

“Sayangnya, menjelang 2018, BBM Premium kembali dimunculkan dengan dalih meningkatkan daya beli masyarakat. Akhirnya sampai saat ini, pemerintah masih menghadirkan bensin premium karena harganya yang murah dan punya pengaruh pada daya beli,” ketusnya.

Ada Konsekwensi
Lebih jauh ia mengatakan, jika pemerintah pusat ingin mengedepankan aspek lingkungan maka tentu ada konsekswensi yang harus dibayar terutama dari sisi biaya yang sudah pasti akan lebih besar.

“Karena proses produksinya memerlukan biaya yang lebih besar. Dan ini akan berujung pada daya beli masyarakat yang akan menjadi taruhannya,” ucapnya.

Namun demikian, lanjut Komaidi, aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan kualitas lingkungan ke depannya juga akan dianggap kurang bijaksana.

“Saya kira aspek lingkungan harus sejalan dengan aspek ekonomi. Sehingga, ketika kita bicara industri, ada upaya memberikan opsi yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

Masih menurut Komaidi, opsi ramah lingkungan yang sekaligus dapat berdampak pada perekonomian adalah dengan mengadakan fasilitas transportasi massa yang baik.

“Sebab, bus besar yang bisa mengangkut sebanyak 100 orang akan memiliki gas buang emisi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kendaraan pribadi yang dikendarai oleh 100 orang. Oleh karena itu, memperbanyak transportasi massal bisa menjadi solusi,” tukasnya.

Ia juga berharap, ke depannya nanti Indonesia bisa menerapkan konsep ekonomi hijau.

“Karena, yang terjadi saat ini bukanlah sebuah evolusi atau revolusi, melainkan sebuah transisi ekonomi. Kemungkinan menuju ekonomi hijau sangat mungkin, terlebih kita berada di wilayah tropis yang keberagaman sumber energinya ada banyak,” pungkasnya. (SF)