Jakarta, ruangenergi.com— Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto resmi menyatakan pertumbuhan ekonomi nasional lewat strategi hilirisasi sektor mineral dan batu bara (minerba), yang kini menjadi pilar utama menuju target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% per tahun.
Tak hanya jargon, hilirisasi kini dibingkai sebagai lokomotif utama pembangunan nasional. Dalam Indonesia Mining Forum yang digelar Metro TV di Jakarta, Kamis (31/7), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa agenda hilirisasi bukan sekadar dorongan industri, melainkan strategi besar untuk menciptakan kemandirian energi, menyerap jutaan tenaga kerja, dan mempercepat lompatan industrialisasi.
“Dalam prioritas Bapak Presiden, Asta Cita, kemandirian dan ketahanan energi serta hilirisasi menjadi tumpuan utama. Sektor batu bara dan mineral menjadi tulang punggungnya,” ungkap Airlangga.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Pemerintah menargetkan investasi jumbo sebesar Rp13.000 triliun selama periode 2025–2029, di mana sekitar US$20 miliar di antaranya dialokasikan untuk proyek hilirisasi minerba. Angka-angka fantastis itu mencerminkan harapan akan efek berganda (multiplier effect) yang masif—mulai dari kebangkitan industri manufaktur, pertumbuhan ekonomi daerah, hingga ekspor strategis bernilai tinggi.
Airlangga juga mengungkap potensi ekspor Indonesia bisa meroket hingga US$850 miliar, serta menyumbang tambahan US$236 miliar pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2040. Semua itu sejalan dengan target besar menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060, lewat pembangunan ekosistem energi baru dan terbarukan seperti panel surya, baterai EV, hingga hilirisasi silika untuk solar panel dan semikonduktor.
Di lini korporasi, Holding Industri Pertambangan Indonesia (MIND ID) menunjukkan komitmen kuat. Corporate Secretary MIND ID, Pria Utama, menegaskan bahwa hilirisasi bukan sekadar proyek, tapi mandat nasional yang menjadi fondasi seluruh inisiatif perusahaan.
“Hilirisasi adalah pedoman strategis kami. Bersama anggota grup, kami memastikan setiap proyek hilirisasi memberikan manfaat ekonomi riil dan inklusif,” katanya.
Salah satu contoh konkret adalah hilirisasi bauksit menjadi aluminium. Melalui pembangunan terintegrasi dari tambang hingga smelter, nilai tambah produk melesat tajam. Dari 1 ton bauksit seharga US$40, bisa naik menjadi US$575 saat menjadi alumina, dan melonjak menjadi US$2.700 dalam bentuk aluminium.
“Ini bukan hanya soal angka. Ini tentang bagaimana kita memastikan nilai tambah tetap di dalam negeri, membuka lapangan kerja, dan memperkuat struktur ekonomi daerah,” tegas Pria.
Dengan strategi ini, era Prabowo tak sekadar melanjutkan pembangunan, tapi menyiapkan lompatan ekonomi nasional yang berkelanjutan—berbasis sumber daya alam, tapi berpijak pada nilai tambah dan kemandirian industri. Hilirisasi bukan hanya pilihan, tapi keharusan untuk masa depan Indonesia.