Jakarta, Ruangenergi.com
Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan penelusuran terhadap individu di balik proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Hasil penelusuran menemukan sejumlah elite kaya atau oligarki di balik pembangkit listrik.
Di sisi lain, industri batubara menghasilkan setumpuk permasalahan negatif. Anak-anak tewas akibat lubang tambang yang dibiarkan menganga. Lahan hijau rusak akibat berubah menjadi lokasi pertambangan. Pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara yakni PLTU secara nyata mengancam kesehatan dan nyawa warga.
Sayangnya menurut peneliti ICW, Egi Primayogha, Indonesia masih bernafsu untuk terus melanggengkan industri batubara secara masif. Hal itu dapat terlihat dari laju produksi batubara yang 2,5 kali lebih tinggi dibanding rata-rata dunia.
“Kondisi ini sekaligus menunjukkan ketiadaan komitmen Indonesia terhadap krisis iklim yang mengancam bumi beserta generasi masa depan di dalamnya,” kata Egi dalam pesan tertulisnya yang diterima Ruangenergi.com di Jakarta, Senin (13/7).
Menurut dia, masalah yang ada dalam industri batubara termasuk PLTU penting untuk menjadi sorotan. Pasalnya, selain telah terbukti mengancam nyawa manusia dan memperburuk krisis iklim, PLTU telah menjadi bancakan oleh banyak pihak. “Hasil penelusuran ICW menunjukkan bahwa di balik proyek pembangkit listrik, terdapat orang-orang dengan kekayaan luar biasa.
Ia mengaku pihaknya telah menelusuri sebanyak 20 proyek PLTU dari seluruh Indonesia, dan sedikitnya 10 orang terkaya se-Indonesia berada di balik proyek pembangkit listrik. 12 orang di balik pembangkit juga terafiliasi dengan perusahaan di negara surga pajak. Selain itu terdapat 3 orang pejabat publik aktif yang terafiliasi dengan proyek PLTU.
“Di antara orang-orang dengan kekayaan luar biasa, terdapat nama Sandiaga Uno, Boy Thohir, dan Arini Subianto yang berada di balik PLTU Tanjung Kalimantan Selatan. Mereka merupakan pengurus dan pemegang saham dari PT Adaro Energy Tbk. Selain itu terdapat juga nama Prajogo Pangestu di balik PLTU Jawa 9 & 10 sebagai pemegang saham mayoritas PT Barito Pacific Tbk,” papar Egi.
Prajogo sendiri, kata dia, merupakan orang terkaya ketiga versi majalah Forbes tahun 2019 dengan total kekayaan US$ 7,6 miliar. “Kita juga masih mengingat geger Paradise Papers & Panama Papers yang memunculkan dugaan adanya modus penghindaran pajak (tax avoidance) melalui negara surga pajak. Individu di balik PLTU turut ditemukan dalam database International Consortium & Investigative Journalists (ICIJ) yang memuat nama-nama orang di negara surga pajak,” bebernya
Di antara nama-nama tersebut terdapat pula nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Djamal Nasser Attamimi, Dewi Kam, dan Edwin Suryadjaya. Luhut misalnya, berada di balik PLTU Sulbagut 1 & PLTU Sulut 3.
“Adapun tiga orang pejabat publik yaitu Luhur Binsar Pandjaitan, Fachrul Razi berada di balik PLTU Sulbagut 1 & PLTU Sulut 3 sebagai pemegang saham dan pengurus di salah satu perusahaan Grup Toba. Erick Thohir juga berada di balik PLTU Tanjung Kalimantan selatan melalui afiliasi dengan saudara kandungnya Garibaldi Thohir,” ungkapnya.
Menurut Egi, sejumlah nama yang ditemukan tersebut bukanlah nama yang asing dalam industri batubara, karrna grup perusahaan mereka turut menguasai pertambangan batubara. “Hal ini juga menunjukkan bahwa dari hulu ke hilir, industri batubara telah dicengkeram oleh elite-elite kaya atau oligarki,” ketusnya.
“Padahal Pasal 33 konstitusi kita tegas menyebutkan bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk kebaikan publik, bukan untuk menguntungkan kepentingan privat atau kelompok. Sehingga cengkeraman oligarki dalam industri batubara tidak boleh diabaikan begitu saja,” tukasnya.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa industri batubara telah membebani negara dengan tanggungjawab lebih. Di mana negara diharuskan menanggung biaya atas kerusakan lingkungan dan kesehatan warga. “Penggunaan batubara juga semakin memperparah krisis iklim, sehingga penggunaan PLTU harus diberikan perhatian khusus. Jika PLTU telah terbukti merugikan kebaikan umum, maka penggunaannya harus segera dihentikan,” tegasnya.
Masih menurut Egi, industri batubara tidak bisa dipisahkan dari PLTU, karena salah satu pengguna terbesar batubara adalah untuk pembakaran PLTU. Sementara PLTU sendiri hingga kini merupakan jenis pembangkit yang paling banyak digunakan.
Masifnya penggunaan PLTU, kata dia, tak lepas dari praktik-praktik korupsi. Sedikitnya dua kasus korupsi yang berkaitan dengan PLTU telah ditangani aparat penegak hukum, yakni kasus PLTU Riau-1 yang melibatkan aktor eksekutif, legislatif, pengusaha, dan Direktur Utama PLN.
“Hampir semua telah mendapat vonis penjara kecuali mantan Direkur Utama PLN Sofyan Basir yang divonis bebas. Selain itu ada pula kasus korupsi PLTU Cirebon yang melibatkan Bupati yang diduga bersekongkol dengan pengusaha untuk memuluskan proyek PLTU,” jelas Egi.
“PLTU saat ini juga perlu disoroti karena celah perburuan rente terbuka lebar. Ini dikarenakan Presiden Jokowi telah mencanangkan program pembangkit listrik 35.000 MW yang mayoritasnya berjenis PLTU. Dukungan finansial untuk megaproyek tersebut mencapai USD 72,3 miliar dan 75% pembangkit diserahkan kepada swasta,” pungkasnya.(Red)