Inalum: Danau Toba Bukan Sekadar Sumber Air, Tapi “Bahan Bakar” yang Dijaga Mati-matian

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Paritohan, Sumatera Utara, ruangenergi.com– Di balik produksi aluminium nasional, ada sebuah ruang kontrol senyap di tepi Danau Toba yang memegang kendali atas ekosistem air danau terbesar di Indonesia. Ruang kontrol itu berada di area Bendungan Sigura-gura, di Desa Ambar Halim, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Toba, Sumatera Utara, dengan kode pos 22384.

Di sinilah PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) mengatur denyut nadi operasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) mereka, yang listriknya dialirkan sejauh 120 km ke Kuala Tanjung untuk melebur aluminium.

“Saat ini, kita berada di kontrol room dari operasi PLTA PT Inalum. Ini bisa mengontrol seluruh proses dari mulai air Danau Toba hingga ke Kuala Tanjung,” ujar Nando Purba, Kepala Departemen Operasi dan Bendungan PT Inalum, saat menerima kunjungan media, termasuk ruangenergi.com di dalam rombongan besar itu. Semua media yang hadir di sana, nominator MEDIAMIND yang diadakan oleh MIND ID, Holding Industri Pertambangan di Indonesia.

Bagi Inalum, termasuk Nando yang juga putra asli dari Tano Batak, Danau Toba bukan hanya sumber air, melainkan “bahan bakar” utama. Hal inilah yang mendasari konsentrasi penuh perusahaan untuk menjaga Tinggi Muka Air (TMA) Danau Toba.

Komitmen Ketat Menjaga Keseimbangan Toba

Nando Purba menunjukkan data live TMA Danau Toba yang terukur di Porsea dan Janji Matogu, hari itu berada di angka 903.43 meter di atas permukaan laut (mdpl). Angka ini vital, sebab Inalum hanya diizinkan beroperasi dalam rentang yang ketat: level rendah (low level) di 902.4 mdpl dan level tinggi (high level) di 905.05 mdpl.

“Kami sangat konsen untuk menjaga tinggi buka air Danau Toba. Kami tidak mungkin menggunakan air ini dengan sembarangan tanpa perhitungan yang jelas,” tegas Purba.

Manajemen air ini bahkan direncanakan setahun sebelumnya. Untuk operasi tahun 2025, Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) telah ditetapkan sejak Juli 2024, dengan mempertimbangkan ketersediaan air dan jadwal perawatan turbin.

Fokus menjaga air ini berdampak pada operasi pembangkit mereka. Meskipun total kapasitas terpasang PLTA Sigura-gura dan Tangga mencapai 603 MW (286 MW di Sigura-gura dan 317 MW di Tangga), Nando Purba mengungkapkan bahwa Sigura-gura sengaja dioperasikan hanya sekitar 75% dari kapasitas terpasang.

“Kenapa? Karena kita sangat konsen untuk air Danau Toba,” jelasnya.

Selain pengaturan debit air, Inalum juga memiliki Departemen Forestry untuk konservasi hutan-hutan di sekitar Toba dan Pulau Samosir. Tujuannya adalah memastikan pepohonan tetap subur dan mampu menyerap air hujan, sehingga air menjadi resapan tanah dan menjaga kelestarian ekosistem danau.

Ambisi Jangka Panjang dan Dilema Energi Murah

Listrik yang dihasilkan dari dua PLTA tersebut menggerakkan pabrik peleburan yang saat ini mampu mencetak 277 ribu ton aluminium per tahun, berupa ingot, alloy, dan bilen. Namun, Pemerintah menugaskan Inalum untuk terus berekspansi, karena kebutuhan aluminium domestik masih defisit hingga 40%.

Target jangka panjang Inalum sangat ambisius: mencapai produksi 1 juta ton aluminium pada tahun 2030. Tantangannya, kapasitas listrik 603 MW saat ini tidak akan cukup untuk mengejar target tersebut.

Maka, Inalum dihadapkan pada upaya keras mencari sumber daya listrik tambahan. Opsi paling ekonomis adalah PLTA. Hitungan sederhana. Inalum, urai Nando, menunjukkan: 1 ton air yang mengalir per detik selama satu hari dapat menghasilkan total 4 MW. Sementara, untuk menghasilkan 1 ton aluminium dibutuhkan sekitar 14.400 kWh.

“Kalau dilihat dari segi harga, untuk saat ini yang paling murah ialah PLTA,” kata Purba.

Untuk mendapatkan harga listrik murah, Nando bercerita, upaya yang ditempuh adalah kolaborasi erat dengan PLN. Termasuk negosiasi harga untuk bisa memperoleh listrik di bawah 5 sen dolar per kWh—harga yang dianggap kompetitif di pasar aluminium global.

Inalum juga berupaya mengakuisisi PLTA Asahan 1 dan Asahan 3 milik PLN, serta berencana membangun pembangkit sendiri di wilayah lain seperti Kaltara dan Aceh. Namun, opsi paling realistis dan terjangkau dalam waktu dekat adalah kerja sama grid dengan PLN.

Inalum percaya, dengan perhitungan yang matang dan menjaga keseimbangan alam seperti yang sudah mereka lakukan selama ini—terlihat dari operasional yang terencana hingga jadwal perawatan mesin yang tidak mengenal “cuti” dan berjalan 24 jam—mitos bahwa mereka menguras Danau Toba dapat terpatahkan. Danau Toba adalah “nyawa” perusahaan, dan menjaganya adalah keharusan.

Nando Purba mengungkapkan bahwa Inalum terus memasang target “di atas target” untuk produksi aluminium. Target tahun 2026, misalnya, sudah di-upgrade menjadi 275.010.000 ton.

“Tantangan ke depan masih sangat challenging, sangat tinggi untuk bisa menghasilkan lebih dari 277 [ribu ton]. Kalau 2026 itu kita 275.010.000 ton. Jadi sebenarnya target, di atas target. Walaupun naiknya cuma 10, tapi tetap yang terbayar naik. Asal naik,” ujar Nando.

Namun, semangat ini terganjal realitas daya. Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Inalum sendiri mentok di 603 Megawatt (MW), jauh dari kebutuhan untuk mencapai target ambisius di 2030. Mengingat satu ton aluminium membutuhkan sekitar 14.400 kWh energi, lonjakan produksi sangat bergantung pada tambahan pasokan daya.

Kemitraan Grid dengan PLN Jadi Solusi Jangka Pendek

Untuk mengatasi defisit daya yang kritis ini, Inalum, urai Nando dengan semangat, akan mengambil langkah pragmatis. Alih-alih langsung membangun pembangkit sendiri—yang dianggap kurang affordable—perusahaan memilih jalur kolaborasi agresif dengan PT PLN (Persero).

“Kalau kapasitas listrik seperti ini, tidak mungkin terkejar. Upayanya pertama kita jajakin konektivitas grid yang sama dengan PLN,” jelas Nando.

Nando pun bercerita, strategi utama Inalum mencakup tiga hal mendesak, yakni: Negosiasi Harga Listrik, dimana melakukan perundingan alot dengan PLN. Inalum menetapkan batas harga kompetitif, yakni di bawah 5 sen Dolar agar produksi aluminium tetap bersaing dengan harga pasar global (LME). Kemudian, akan akuisisi PLTA, mencoba mengakuisisi PLTA Asahan 1 dan Asahan 3 agar sepenuhnya dikelola oleh Inalum. Selanjutnya, pemasangan IBT, yakni emasang Internal Bus Transformer (IBT)  di sisi Kuala Tanjung untuk menarik aliran listrik dari substation PLN.

Komitmen ‘Sakti’ Inalum Menjaga Air Danau Toba

Di balik perburuan listrik ini, Inalum menyentuh isu sensitif mengenai sumber energi utamanya: air Danau Toba. Perusahaan menepis anggapan bahwa mereka hanya “menguras” air danau.

“Mereka pikir Inalum itu hanya menggunakan, menguras air Danau Toba untuk kepentingan Inalum. Ternyata kan sudah kita lihat, dari Januari 2024 sampai Oktober 2025, air itu kita jaga. Level Danau Toba itu kita jaga dengan baik,” tegas Nando Purba.

Ia membeberkan hitungan “sakti” yang menjadi dasar konservasi air: kenaikan air Danau Toba 1 cm dapat menyuplai 127,3 ton air per detik, dan 1 ton air yang mengalir dalam 1 detik dapat menghasilkan 4 MW listrik.

“Kenapa? Karena inilah mata pencaharian kami. Inilah bahan bakar kami. Artinya, enggak mungkin kami gunakan air ini dengan sembarangan tanpa perhitungan yang jelas,” tutup Nando, menegaskan bahwa keseimbangan produksi dan konservasi lingkungan adalah kunci kelangsungan bisnis aluminium Inalum.

Inalum Menjaga Warisan Green Aluminium, Dua Wajah Aluminium: Hijau untuk Ekspor, Batubara untuk Domestik

Dalam sebuah pertemuan dengan nominator MediaMIND2025, Rabu (22/10/2025) di Kantor Pusat Inalum di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, Kepala Grup Proyek Inalum, Ismadi YS, menuturkan bahwa kunci pengembangan industri peleburan tetap bertumpu pada ketersediaan energi.

“Salah satu syarat utama untuk mengembangkan produksi aluminium adalah ketersediaan energi. Selama ini Inalum dikenal memproduksi Green Aluminium karena mendapat pasokan energi bersih dari PLTA Siguragura dan PLTA Tangga. Tapi untuk ekspansi smelter ke depan, opsi PLTU di Mempawah juga sedang dikaji, karena batu bara masih relatif murah agar keekonomian proyek terjaga,” ujar Ismadi di sela kunjungan di Kabupaten Batubara.

Inalum menyiapkan strategi dua merek sekaligus. Produk dari Kuala Tanjung akan tetap menyandang label hijau, menopang pasar ekspor yang menuntut sertifikasi keberlanjutan. Di sisi lain, kebutuhan domestik akan dipenuhi dari smelter baru di Mempawah, Kalimantan Barat, yang kini tengah dikaji pemanfaatan energi dari PLTU.

“Untuk jangka panjang, kalau Energi Baru Terbarukan bisa masuk tentu itu juga jadi opsi. Tapi sementara ini, potensi batubara dan dukungan pemerintah untuk utilisasinya menjadi pertimbangan,” tambah Ismadi bercerita dan didengar oleh Godang S dari ruangenergi.com.
Inalum sadar, membangun smelter baru bukan pekerjaan soliter. Skema yang disiapkan adalah pabrik peleburan dikelola Inalum, sementara pembangunan pembangkit dilakukan lewat kerja sama dengan mitra potensial di sektor ketenagalistrikan.

“Manajemen menyusun skenario bagaimana membangun kerja sama dengan provider pembangkit di sana,” jelas Ismadi.