Jakarta, Ruangenergi.com – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut transisi energi telah berlangsung di seluruh dunia dan perkembangan energi bersih di dunia semakin menjanjikan.
Dalam sebuah konferensi pers secara virtual, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menjelaskan, kemajuan teknologi dan implementasi skala luas memungkinkan penurunan biaya investasi energi terbarukan, terutama pada PLT Surya (PLTS) dan PLT Bayu (PLTB).
“Hanya dalam satu dekade saja (2010-2019), harga panel surya dan turbin angin telah turun masing-masing sebesar 89% dan 59%,” katanya secara virtual, (25/01).
Selain itu, lanjut Fabby, inovasi teranyar di bidang teknologi penyimpanan baterai memberikan akses biaya yang lebih murah pada harga baterai Li-ion yang juga turun sebesar 89% di periode yang sama.
Menurutnya, pada tahun 2030, membangun pembangkit listrik baru dari Energi Baru Terbarukan (EBT) akan lebih murah daripada mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang sudah ada di seluruh belahan dunia.
“Bahkan di beberapa negara, kondisi ini sudah terjadi. Perkiraan tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil baru akan semakin tidak menguntungkan dan berisiko,” tuturnya.
Ia menambahkan, pengembangan energi terbarukan dalam skala besar dan cepat merupakan keniscayaan untuk menghindari krisis perubahan iklim akibat pemanasan global sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia sebagai salah satu negara pengemisi terbesar di dunia dituntut untuk menurunkan konsumsi energi fosil dengan melakukan transisi energi secepatnya, khususnya di sektor kelistrikan.
“Tahun 2020-2021 merupakan waktu yang krusial untuk memulai proses transisi energi Indonesia. Pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 seharusnya dapat diselaraskan dengan pembangunan rendah karbon,” paparnya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh IESR dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, pemerintah Indonesia masih belum beranjak dari pengembangan energi fosil. Hal ini terlihat dari upaya penyelamatan ekonomi Indonesia dari dampak krisis Covid-19.
Dikatakan olehnya, pemerintah juga tetap merencanakan untuk melanjutkan pengembangan industri hilir batubara dengan sembilan usulan insentif yang dibahas di tiga kementerian yang berbeda. Padahal inisiatif tersebut berpotensi menjadi beban anggaran pemerintah seiring dengan risiko proyek hilirisasi batubara yang tinggi dan semakin terbatasnya investasi sektor batubara.
Dampak Covid-19
Pandemi Covid-19 menyebabkan Indonesia mengalami penurunan permintaan konsumsi listrik yang signifikan dan juga kelebihan pasokan listrik dalam negeri.
Bahkan, diperkirakan pertumbuhan permintaan untuk beberapa tahun ke depan lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan dalam lima tahun terakhir, berkisar antara 4–4,5% per tahun.
“Strategi untuk mendorong transisi energi perlu mempertimbangkan pertumbuhan permintaan listrik yang lebih rendah tersebut sehingga pembangunan energi terbarukan merupakan prioritas serta mempensiunkan pembangkit listrik tenaga fosil, khususnya batubara, perlu segera dipertimbangkan,” beber Fabby.
Ia kembali menjelaskan, faktor kuat lainnya untuk melakukan transisi energi berasal dari hasil pemodelan IESR terhadap RUPTL 2019-2028 yang menunjukkan bahwa emisi Gas Rumah Kaca (GRK) PLTU batubara dapat mencapai lebih dari 300 juta ton CO2e sebelum tahun 2028.
“Bahkan di tahun 2022, Indonesia diproyeksikan akan melampaui jalur emisi GRK 2° C . Padahal sejak 2016, Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris, melalui UU No 16/2016 dan pemerintah sudah menyerahkan Nationally Determined Contribution (NDC) ke UNFCCC sebagai tindak lanjut komitmen tersebut,” imbuh Fabby.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang terikat secara hukum untuk memenuhi target perubahan iklim global dan harus memprioritaskan upaya mengurangi emisi GRK secara signifikan.
“Pemerintah sepatutnya menggunakan momentum ini dengan membuat kebijakan agresif untuk memenuhi komitmen Kesepakatan Paris agar suhu bumi terjaga di bawah 1.5o C. Pada laporan IETO 2021, IESR mendesak Presiden Jokowi dan menteri sektoral terkait untuk segera memperkuat komitmen politiknya untuk melakukan transisi energi, dimulai dengan sektor kelistrikan,” katanya.
“Komitmen transisi energi ini diwujudkan dengan akselerasi pengembangan energi terbarukan dan peningkatan ambisi dari target penurunan emisi gas rumah kaca dalam NDC Indonesia yang selaras dengan target dan kerangka waktu Kesepakatan Paris menuju net-zero emission pada pertengahan abad ini. Komitmen diwujudkan dalam penguatan ekosistem untuk mendukung transisi energi, termasuk diantaranya meningkatkan daya tarik untuk mendorong investasi proyek pembangkit listrik energi terbarukan sebesar $3-5 miliar/tahun sampai dengan 2025, melakukan moratorium harus menambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahun sekitar 2 hingga 3 GW hingga tahun 2025,” sambung Fabby.
lebih jauh, Fabby mengatakan, IESR memprediksi penambahan kapasitas baru hanya sekitar 400-500 MW tahun ini, terutama yang berasal dari proyek panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Untuk itu, dirinya meminta, pemerintah patut mempertimbangkan pengembangan energi terbarukan yang juga berpotensi besar seperti PLTS baik secara industri maupun rumah tangga.
“Hasil asesmen pada Kerangka Kesiapan Transisi (Transition Readiness Framework) yang IESR kembangkan dan perkenalkan dalam IETO 2021 menunjukkan bahwa secara umum Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk mendorong proses transisi energi,” tandasnya.