Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja mengungkapkan bahwa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minyak dan gas bumi (migas) mencapai Rp39,83 triliun per 1 Juni 2025.
Data ini disampaikan oleh Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Tri Winarno, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI di Jakarta pada 30 Juni 2025. Namun, Tri menjelaskan bahwa angka tersebut baru mencapai 32,92 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp120,99 triliun.
Salah satu penyebabnya adalah target lifting migas yang ditetapkan untuk tahun 2025 sebesar 605 ribu barel per hari juga belum tercapai, dengan realisasi hingga Mei 2025 hanya mencapai 568 ribu barel per hari. Sehingga dalam RDP tersebut, Komisi XII mendorong KESDM untuk melakukan Revisi UU Migas bersama DPR RI dalam rangka melakukan penyesuaian regulasi sektor migas sesuai putusan MK no 36/2012.
Perlu diketahui, rencana Revisi UU Migas sudah diinisiasi sejak belasan tahun lalu, namun nyatanya hingga kini Revisi UU Migas ini belum disepakati. Adapun pembahasan Revisi UU Migas ini sejatinya dibahas melalui Komisi bidang energi, kini di bawah Komisi XII DPR, berubah dari periode sebelumnya yang berada di bawah Komisi VII DPR.
Dalam kesempatan berbeda, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melakukan RDP Umum tentang Penguatan Regulasi Migas untuk mencapai Swasembada Energi dengan Ketua Umum Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SP SKK Migas), Afriandi Eka Prasetya.
Afriandi menekankan pentingnya sektor migas bagi energi nasional. Ia menjelaskan, Indonesia masih sangat bergantung pada sumber energi fosil, seperti migas dan batubara. Konsumsi minyak nasional mencapai 1,6 juta barel, tetapi produksi hanya mampu memenuhi 600 ribu barel, sehingga Indonesia terpaksa mengimpor migas selama 20 tahun terakhir. Kontribusi sektor migas terhadap penerimaan negara juga semakin menurun.
Afriandi menyampaikan bahwa peran sektor migas masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Selama periode 2012 hingga 2024 , sektor hulu migas menghasilkan gross revenue mencapai Rp5.580 triliun, dengan penerimaan negara mencapai Rp2.278 triliun, meskipun dengan adanya kekosongan regulasi, pasca putusan MK tahun 2012 yang telah membatalkan beberapa pasal di Undang-undang Migas.
Ditegaskan bahwa revisi Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) sangat diperlukan untuk mencapai swasembada energi. “Tanpa Revisi UU Migas, swasembada energi tak akan tercapai bahkan kemungkinan terjadi krisis produksi Migas,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi geologi yang mendukung sektor hulu migas, karena dari 128 cekungan yang dimiliki oleh Indonesia, saat ini produksi migas baru dari 20 cekungan saja. Namun tanpa regulasi yang jelas, peluang tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Selain itu, ada 140 izin kegiatan usaha hulu migas yang harus dipenuhi dari 17 Instansi Penerbit izin. Banyaknya jumlah izin dan rumitnya proses perizinan membuat daya Tarik investasi di Indonesia kalah dari negara lain seperti India, Kanada, Norwegia, dan Inggris.
Terkait dengan penyederhanaan Perizinan, bahkan negara seperti Malaysia, misalnya, sudah memiliki lembaga khusus untuk mengelola migas dan sebagai single point of contact, sehingga berhasil menarik banyak investor.
Afriandi menekankan bahwa industri hulu migas Indonesia perlu ditingkatkan, terutama karena cadangan yang ada saat ini sudah masuk kategori matang dan tanpa penemuan cadangan baru, cadangan Migas terbukti yang dimiliki Indonesia hanya sekitar 0.14% dari cadangan minyak terbukti global dan sekitar 0.6% dari cadangan gas terbukti global.
Revisi UU 22/2001 diharapkan dapat menjawab tantangan menuju swasembada energi nasional dan menarik lebih banyak investor untuk eksplorasi. Tanpa eksplorasi yang terbuka, Indonesia akan kesulitan menemukan cadangan migas baru dan terus bergantung pada impor.
“Revisi ini diperlukan juga untuk memperkuat kelembagaan migas, menyederhanakan perizinan, tata ruang, dan lahan agar tidak tumpang tindih,” pungkas Afriandi
Untuk itu diharapkan DPR dan pemerintah dapat melanjutkan pembahasan revisi UU Migas yang hampir selesai beberapa tahun lalu.
Pelu diingat tahun 2023 yang lalu, Komisi VII DPR RI dan Badan legislasi (Baleg) telah mengharmonisasi Revisi Undang-Undang (RUU) No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), Komisi VII DPR menyepakati hasilnya. Kesepakatan itu diambil dalam rapat panitia kerja (Panja) Baleg dengan Komisi VII di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (6/9/2023).
Saat Wakil Ketua Komisi VII, masih dipegang oleh Maman Abdurrahman, dia mengatakan, pada prinsipnya apa yang disusun dalam draf RUU Migas hasil harmonisasi Baleg DPR RI secara substansi tidak ada perbedaan. Baleg dan Komisi VII punya pemahaman yang sama tentang arah revisi dan substansi RUU Migas.
“Oleh karena itu saya selaku perwakilan Komisi VII dan pimpinan Komisi VII menyatakan menerima dan setuju sinkronisasi dan pemantapan Baleg terhadap RUU Migas,” ujarnya.