Tangerang Selatan, Banten, ruangenergi.com- Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penerapan Nilai Ekonomi Karbon Dalam Rangka Pencapaian Target NDC dan Pengendalian Emisi GRK Dalam Pembangunan Nasional, dan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Pada bulan
September tahun lalu, Bursa Efek Indonesia mendirikan Bursa Karbon atau Carbon Exchange untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon. Tapi hingga kini belum ada perusahaan migas yang ambil bagian dalam perdagangan karbon secara langsung.
Kepala Unit Pengembangan Carbon Trading IDX Carbon Edwin Hartanto, menjelaskan ekosistem dalam perdagangan karbon memang perlu lebih disiapkan. Aturan pelaksana menjadi kuncinya.
Menurut Edwin hulu migas punya peluang sangat baik untuk terlibat di bisnis perdagangan karbon apalagi jika sudah diterapkan CCS. Dalam praktiknya jika perusahaan migas punya teknologi CCS dengan kapasitas lebih besar ketimbang emisi yang dihasilkan, kelebihan kapasitas itu yang bisa ditawarkan ke pihak lain.
“Perusahan migas ini memiliki keahlian yang lebih maju di teknologi CCS walaupun teknologinya masih terbilang mahal, kita mau ini terus didobrak, agar teknologi ini nantinya harganya turun, sehingga proyek harga karbon kredit bisa naik. Syaratnya yang harus difokuskan untuk perusahaan dengan emisi tinggi dulu, kalau kapasitas carbon capture lebih, sisanya bisa dijual, peluangnya di situ,” jelas Edwin.
Riza Suarga, Chairman of Indonesia Carbon Trade Associations, menilai pasar carbon di Indonesia masih belum terbiasa dengan aktifitas perdagangan karbon apalagi di sektor hulu migas. Untuk itu peran lebih pemerintah sangat diperlukan untuk membuat iklim perdagangan karbon lebih ramah terhadap pelaku usaha.
“Saat ini pasar masih belum belum stabil, tetapi Indonesia sudah mengambil langkah maju dengan adanya dukungan dari pemerintah,” kata Riza.