Jakarta,ruangenergi.com-Terkait dengan konflik Rusia-Ukraina yang semakin meruncing pastinya akan menyebabkan kenaikan harga minyak yang cukup signifikan. Banyak yang meramalkan kenaikan harga tahun ini akan mencapai di 120-130$ per barrel.
“Estimasi saya juga demikian. Harga minyak akan berada dikisaran tersebut seiring konflik yang semakin memanas. Keuntungan bagi kita pastinya di sektor hulu. Dengan kenaikan ini maka ICP kita akan mengalami kenaikan diatas dari asumsi APBN 2022. Hal ini akan meningkatan pendapatan negara dari hulu migas baik dari PNBP maupun dari pajak lainnya. Selain itu, kenaikan ini harus bisa memacu kegiatan hulu migas untuk mengejar lifting yang ditetapkan atau bahkan melebihinya mengingat harga keekonomian sedang dalam posisi yang bagus,” kata Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com, Kamis (24/02/2022) di Jakarta.
Mamit menambahkan, kegiatan hulu migas juga harusnya bisa tumbuh dengan kenaikan ini dalam rangka mengejar target lifting. Dengan demikian, kegiatan pengeboran dan WOWS akan semakin banyak.
“Tenaga kerja hulu migas juga akan makin terserap. Industri penunjang hulu migas jg bisa tumbuh. Kegiatan eksplorasi dan EOR bisa jadi momentum untuk di mulai secara optimal,” beber Mamit.
Untuk hilir, jelas Mamit, pastinya ini akan semakin memberatkan. Kenaikan harga minyak yang diimbangi dengan kenaikan ICP maka akan menambah beban subsidi bagi sektor energi. Harga listrik dan bbm akan meningkatkan beban subsidi. Selain itu, harga bbm umum non subsidi juga akan mengalami kenaikan.
“Perusahaan seperti Pertamina yang sampai saat ini harga Pertamax belum bisa dinaikan akan semakin tertekan keuangan mereka. Begitu juga kompensasi untuk Pertalite yang hanya 50% sesuai dengan Perpres 117/2021 tetap kurang membantu. Harusnya kompensasi yang diberikan 100% bagi Pertalite ini mengingat harganya sudah jauh di bawah keekonomian,” jelas Mamit dengan raut wajah sedih.
Mamit mengakui, antisipasi pemerintah memang agak sulit ya, mengingat harga ini merupakan pasar global. Pemerintah bisa mengurangi impor untuk produk energi seperti BBM dan LPG dengan melakukan diversifikasi energi. Seperti BBM dengan program RDMP dan GRR yang saat ini sedang dijalankan akan mengurangi impor. Selain itu, populasi EV juga harus di kembangkan agak semakin banyak. Perlu kebijakan agar EV bisa lebih murah lagi. Pemerintah juga bisa menghidupkan kembali program konversi bbm ke BBG untuk mengurangi impor.
“Untuk LPG, program diversifikasi dengan yang lain harus dilakukan. Penggunaan DME harus dikaji agar lebih murah dan menguntunhkan. Program kompor listrik harus di genjot juga,” tegas Mamit mengakhir obrolan santai di sore hari yang indah sembari menyeruput kopi.