Bali,Nusa Dua,ruangenergi.com-Salah satu industri yang akan menjadi andalan Indonesia adalah baterai lithium untuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Terbukti dari pembangunan proyek kawasan industri di Kalimantan Utara bersama CATL yang ditargetkan rampung di 2024.
“Industri hilir ini akan menjadi pabrik petrokimia terbesar di dunia di Kalimantan Utara, dengan investasi USD 56 miliar. Mereka akan memproduksi juga baterai energi baru 265 gigawatt hour yang dapat menghasilkan 3 juta EV,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan saat B20 Summit di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11/2022).
Menurut Luhut,terdapat potensi PLTA sebesar 11 GW di Kalimantan Utara yang rencananya mulai dibangun pada kuartal I 2023 dan pembangkit ini untuk mendukung penggunaan energi bersih di kawasan industri itu,
“Inilah industrialisasi dan strategi hijau Indonesia yang sangat penting. Sampai dengan tahun 2030 ini, jika melihat ini kita memiliki banyak komoditas di sini, komoditas potensial, dan sangat strategis,” beber Luhut.
Indonesia Butuh Dana US$50 Miliar
Terpisah,dalam rangkaian acara B20 Indonesia Summit, Minggu (13/11/2022), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia Arifin Tasrif mengatakan Indonesia membutuhkan dana US$ 50 miliar atau sekitar Rp 773 triliun untuk membangun 22 GW energi baru terbarukan. Hal ini dilakukan untuk mempercepat bauran energi dan mencapai net zero emission.
“Untuk mempercepat bauran energi dalam sistem dalam waktu berikutnya, yaitu dalam 10 tahun ini, kami berencana untuk membangun 22 GW energi terbarukan di sistem kami,”ujar Tasrif
Menurut Arifin pembangunan 22 GW energi terbarukan ini menjadi peluang baru bagi komunitas bisnis untuk datang berinvestasi. Sedangkan untuk jangka panjang bisa dilakukan dengan membangun transmisi. Lebih jauh Arifin mengatakan, Indonesia adalah negara archipelago terbesar di dunia yang harus terhubung dengan energi. Sementara, Indonesia memiliki energi itu sendiri. “Kita harus memanfaatkan sumber sendiri dan harus bersekutu dengan semua pelaku bisnis,” ujar Arifin lagi.
Untuk mempercepat proses transisi ia menyebut perlu dukungan dari berbagai pihak. Sebagai contoh, pemerintah akan menyiapkan kebijakan yang baik untuk menarik agar lebih banyak investasi ke Indonesia. Menurut Arifin, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah ketersediaan industri yang mendukung teknologi, dan ketersediaan finansial.
“Kami juga memiliki beberapa mineral lainnya, misalnya yang dapat mendukung proses transisi itu sendiri. Kami dapat berbagi tentu saja, tetapi kali ini, kami akan meminta kerjasama korporasi antara bisnis dengan sektor,” papar Tasrif lagi.
Anggota G20,lanjut Tasrif, sudah menetapkan target mereka untuk mencapai net zero emission. Jadi tahun ini akan membuat lebih banyak setiap tahun.
“Inilah yang kami sebut sebagai permintaan, permintaan yang sangat besar.Bahwa pencapaian target tersebut tidak akan berhasil tanpa dukungan pihak lain. Dibutuhkan partisipasi komunitas bisnis untuk memberikan dukungan finansial dan teknologi. Saat ini baru 50 persen dari teknologi yang tersedia untuk digunakan,”pungkasnya.