Jakarta,ruangenergi.com-Komisi VII DPR Rl sangat mendukung pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) di Indonesia.
Hal ini sejalan potensi lndonesia sebagai negara kepulauan beriklim tropis yang memilki berbagai sumber energi yang tersebar di seluruh lndonesia
“Sebagai latar belakang dari penyusunan RUU EBET, inisiatif ini sejalan dengan komitmen Pemerintah pada Paris Agreement yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 sebagai upaya menurunkan emisi yang mempengaruhi pemanasan global. Komitmen tersebut tertuang pada Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia untuk pengurangan emisi sebesar 29 persen hingga Tahun 2030 dengan pembiayaan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional. Komisi VII DPR Rl yang mendukung ratifikasi Perjanjian Paris yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim,” kata Wakil Ketua Komisi VII Bambang Haryadi saat membacakan pandangan DPR-RI di Komisi VII DPR RI saat Rapat Kerja dengan Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri LHK, Mendikbud Ristek, Menteri BUMN, Menteri Hukum dan HAM, Pimpinan Komite II DPD, acara Pengantar Musyawarah RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), Selasa, 29 November 2022.
Selain itu,lanjut Bambang,Kebijakan Energi Nasional (KEN) berpandangan bahwa eneFgi dimanfaatkan untuk modal pembangunan sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan cara mengoptimalkan pemanfaatannya bagi pembangunan ekonomi nasional, penciptaan nilai tambah di dalam negeri dan penyerapan tenaga kerja.
Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) ini telah melalui proses yang Panjang di mana RUU ini sudah menjadi Program Legislasi Nasional Tahun 2019 2024, dan telah menjadi program prioritas Tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022.
Pembentukan RUU EBET mempunyai arti penting karena sangat dibutuhkan untuk perbaikan tata kelola Energi Baru dan Energi Terbarukan di lndonesia, mengingat Energi Baru dan Energi Terbarukan sebagai sumber daya alam strategis merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya harus untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.
Hal ini sesuai yang ditegaskan dan diamanatkan oleh konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). Sebagaimana yang diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi telah mewajibkan Pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada dengan tetap mempertimbangkan aspek teknologi, sosial, ekonomi, konservasi, dan lingkungan serta memprioritaskan pemenuhan kebutuhan energi domestik untuk mencapai ketahanan dan Kemandirian energi nasional.
Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh energi baru dan energi terbarukan seperti sumber yang tidak pernah habis (berkelanjutan), stabil, dan ramah bagi lingkungan, maka diproyeksikan percepatan pengembangan energi baru dan energi terbarukan akan menggantikan penggunaaan energi fosil sebagai pasokan energi mayoritas saat ini baik untuk kebutuhan industri maupun pembangkit tenaga listrik.
“RUU EBET ini diarahkan untuk mendukung dan menjamin terwujudnya kedaulatan, ketahanan, dan kemandirian energi nasional. Selain itu, diorientasikan untuk menciptakan kegiatan usaha Energi Baru dan Energi Terbarukan yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan pelaku ekonomi dalam negeri, khususnya peran perusahaan negara.
Secara substansi, RUU EBET dengan total Bab sebanyak 14 Bab dan 62 Pasal yang meliputi transisi energi dan peta jalan, sumber EBET, nuklir, perizinan berusaha, penelitian dan pengembangan, harga EBET, dukungan Pemerintah, dana EBET, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), pembagian kewenangan, pembinaan dan pengawasan, serta partisipasi masyarakat,” jelas Bambang saat membacakan pandangan DPR atas RUU EBET.
Salah satu Pasal yaitu Pasal 9 menyebutkan bahwa sumber energi baru terdiri dari beberapa macam. Diantaranya yakni nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (coal liquefaction), batubara tergaskan țcoal gasification); dan Sumber Energi Baru lainnya.
“Kenapa batubara? Negara kita masih memiliki cadangan batubara yang tinggi dimana kita harus tetap dapat memanfaatkannya sebagai salah satu sumber energi dengan teknologi yang dapat menekan emisi serendah-rendahnya. Pada kesempatan ini, Komisi VII DPR RI telah mendapatkan tugas untuk membahas RUU tentang EBET. Namun demikian, hingga hari ini Pemerintah belum juga menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait RUU tersebut meskipun sudah melebihi batas waktu yang sudah ditetapkan.
Sehubungan dengan hal di atas kami mendesak kepada Pemerintah sebagai wakil dari Presiden Rl, agar segera menyampaikan DIM RUU EBET dimaksud, sehingga kita segera melakukan membahas RUU tersebut,” tegas Bambang.
DPR RI,melalui Komisi VII,ingin menyampaikan bahwa pengelolaan EBET harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat lndonesia sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
“Sehubungan dengan hal tersebut RUU EBET harus dapat menjadi enabling condition bagi pembangunan EBET di lndonesia termasuk menciptakan iklim yang positif. Kita harus mulai menepikan ego kita dari masing-masing Lembaga demi terselesaikannya RUU EBET ini sesegera mungkin. Kami mengajak semua pihak, terutama pemangku kepentingan terkait Energi Baru dan Energi Terbarukan untuk bersama-sama mendukung penyelesaian RUU EBET ini sebagai bagian dari revolusi energi untuk pemenuhan target penting lndonesia diantaranya Net Zero Emission pada Tahun 2060 dan bauran energi di Tahun 2025.
Demikian penjelasan Komisi VII DPR RI atas RUU EBET. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih,”pungkas Bambang mengakhir pembacaan penjelasan Pimpinan Komisi VII DPRRI terhadap RUU EBET.